Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar mengatakan bahwa program calon presiden Joko Widodo terkait bagi-bagi lahan bukan hal yang baru.
Selepas acara Konvensi Rakyat "Optimisme Indonesia Maju", Minggu (24/2/2019) malam, pria yang akrab disapa Cak Imin ini menjelaskan bahwa program tersebut sebenarnya telah ada sejak era Presiden ke-3 RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
"Itu memang sejak Gus Dur dulu [sudah ada] lahan untuk rakyat. Program Gus Dur pertama kali jadi presiden, membagi lahan BUMN [Badan Usaha Milik Negara] untuk rakyat. Itu oleh pak Jokowi ditindaklanjuti dan dilanjutkan dengan langkah konkret tanah untuk rakyat," jelasnya.
Program tersebut yakni bagi-bagi sertifikat tanah yang ditargetkan 9 juta sertifikat pada 2019 dan 11 juta sertifikat pada 2020. Kemudian bagi-bagi lahan konsesi untuk masyarakat di sekitar hutan sebesar 2,6 juta hektare dari 12,7 juta hektare yang telah dipersiapkan pemerintah untuk dibagikan.
"Tanah untuk Rakyat ini seharusnya tanah-tanah yang digunakan oleh sebagian kecil masyarakat pengusaha, tetapi tidak berdaya guna, [jadi] dikembalikan. Kecuali yang produktif, yang tidak produktif dikembalikan [ke negara]," tambahnya.
Oleh sebab itu, Cak Imin menganggap sindiran Jokowi tentang 'pengembalian pemilik lahan konsesi besar', dalam pidatonya di acara Konvensi Rakyat sebenarnya merupakan hal umum dan bukan upaya menyerang pihak tertentu. Sebab, hal tersebut telah menjadi keinginan masyarakat pada umumnya.
Baca Juga
"Karena suara aspirasinya 'balikin-balikin' itu saya kira semua aspirasi rakyat Indonesia. Sama. Jangan gede-gede deh yang punya [lahan konsesi besar], kita bagi-bagi," jelasnya.
Sebelumnya, dalam pidato tersebut, Jokowi memberikan pernyataan bahwa dirinya menunggu pemilik lahan konsesi besar yang ingin mengembalikan ke negara.
"Saya tunggu. Saya tunggu sekarang.... Dan akan saya bagikan untuk rakyat kecil," kata Jokowi.
Setelah pernyataan tersebut, aula SICC pun pecah dengan teriakan 'balikin, balikin' dari para relawan dan tokoh politik.