Kabar24.com, JAKARTA — Peserta debat Pilpres 2019 disarankan untuk menjauhkan diri dari lontaran pertanyaan yang bersifat jebakan dan serangan personal terhadap lawan, sehingga pesta demokrasi bisa berjalan secara bermartabat.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor mengingatkan prinsip-prinsip moralitas tetap harus dikedepankan dalam kontestasi politik praktis. Kendati politik mengenal sifat Machiavellian yang menghalalkan segala cara di atas moralitas, masyarakat Indonesia masih menghargai adab.
“Saya berharap sih pertarungan dalam debat berikutnya jangan sampai jebak-menjebak,” ujarnya saat dihubungi Bisnis.com, Senin (18/2/2019).
Debat Pilpres 2019 telah berlangsung dua putaran, masing-masing pada 17 Januari dan 17 Februari. Pada 17 Maret, debat akan menghadapkan Calon Wakil Presiden nomor urut 01 Ma’ruf Amin versus Calon Wakil Presiden nomor urut 02 Sandiaga Salahuddin Uno.
Keduanya bakal mendebatkan tema pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan sosial-budaya. Jika tidak ada perubahan format, kedua kontestan akan diberikan waktu lebih banyak untuk saling bertanya-jawab seperti halnya pada debat putaran kedua.
Firman mengatakan debat putaran ketiga akan menghadapkan dua sosok kontras baik dari segi usia maupun latar belakang karir. Ma’ruf yang dikenal sebagai ulama bakal mendebat sosok Sandi yang bekas pengusaha dan berusia jauh lebih muda.
Di atas kertas, menurut Firman, Sandi lebih menguasai artikulasi panggung debat kontestasi politik dibandingkan dengan Ma’ruf yang lebih sering memberikan petuah keagamaan satu arah. Selain itu, tema pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan sosial-budaya lebih diakrabi oleh mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta tersebut.
“Ini kan tema Sandi banget sebagai pengusaha dan orang yang punya perusahaan. Latar belakang Pak Ma’ruf tak terkait sehingga banyak sekali yang harus dihapalkan,” tutur Firman.
Dalam posisi tersebut, Firman menilai bukan mustahil Sandi akan melontarkan diksi-diksi yang tidak dipahami Ma’ruf untuk ditanyakan. Apalagi, bila durasi segmen tanya-jawab dan eksplorasi cukup panjang maka Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia tersebut bisa berada dalam posisi sulit.
Kendati memiliki kesempatan, Firman berharap Sandi tidak melontarkan pertanyaan jebakan kepada sang rival yang berusia jauh lebih tua. Dengan demikian, kedua peserta dapat memperdebatkan substansi ketimbang bertendensi mempermalukan lawan.
“Ini jatuhnya ke moralitas, masalah Machiavellian, sejauh mana orang tega. Tapi, kalau dilihat dari karakternya Sandi itu santun,” kata lulusan Australian National University ini.