Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat energi dari ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto, menilai ada banyak hal di bidang energi yang perlu menjadi perhatian bagi kedua pasangan capres dan wakilnya, Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandiaga.
Pri Agung menyebut ada enam poin yang perlu diperhatikan bagi Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandiaga.
Pertama, bagaimana menarik investasi energi, baik fosil maupun energi terbarukan. Baik dari sisi upstream, midstream maupun downstream.
“Kedua, bagaimana merealisasikan pembangunan infrastruktur energi seperti listrik, kilang, jaringan gas dan sebagainya,” ujarnya, Minggu (17/2/2019).
Ketiga, perihal energi yang efisien tidak politis atau populis juga perlu menjadi perhatian bagi kedua kubu tersebut.
“Keempat, soal realokasi energi agar tepat sasaran ke pengguna.”
Baca Juga
Kelima, Pri Agung juga berharap agar Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandiaga tidak melulu mendebatkan soal isu nasional vs non-nasional. Pasalnya, isu energi memiliki konteks yang cukup global sehingga tak bisa dikaitkan dengan nasional vs non nasional.
Keenam, terkait policy dan regulasi. Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandiaga perlu memaparkan kejelasan dan kepastian terkait perizinan tidak birokratis, dan kemudahan iklim usaha.
“Debat visi jangan yang mengawang-ngawang dan tidak konkret. Karena dari dulu visi energi itu selalu hanya akan ada diversifikasi, efisiensi, konservasi, jangan juga yang bombastis dan tidak mencerdaskan rakyat seperti nasionalis vs asing. Yang realistis dan diperlukan untuk membuat sektor energi kita lebih baik saja.”
Masalah Belum Selesai
Sementara itu, pada pekan kemarin, dalam diskusi yang digelar oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Barly Martawardaya selaku ekonom mengatakan pada dasarnya di sektor energi khususnya minyak dan gas, ada masalah menahun yang belum terselesaikan.
Sebagai negara net importir minyak sejak 2002, terbukti era Jokowi - Jusuf Kalla upaya memangkas defisit neraca migas belum berhasil.
Menurutnya, lifting migas mengalami kemerosotan sekitar 30% sejak 2014. Sementara itu, untuk investasi migas yang dibuktikan dengan eksplorasi belum membaik sejak 2013.
“Akhirnya tidak bisa dipisahkan defisit migas memengaruhi stabilitas makro," katanya dalam Konferensi Pers “Pemanasan Debat Capres Kedua: Tawaran INDEF untuk Agenda Strategis Pembangunan SDA dan Infrastruktur,” kata Barly, Kamis (14/2/2019).
Barli kemudian merujuk pada survey PWC 2016, terlihat Indonesia memerlukan peningkatan kepastian kebijakan sektor energi. Belum lagi, dalam survei tersebut, lanjut Barly, terlihat adanya inkonsistensi kebijakan antara Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian.
Dia menambahkan, salah satu bukti nyata bahwa dasar hukum sektor migas rendah adalah tidak kunjung selesainya pembahasan RUU Migas.
Selain itu, tantangan mendorong bauran energi juga menjadi pekerjaan rumah. Barly menyebut, dengan pertumbuhan populasi kendaraan bermotor yang tiap tahunnya tumbuh eksponansial, berdampak pada konsumsi energi.
Misalnya, dengan pertumbuhan populasi kendaraan bermotor 10%, maka pertumbuhan konsumsi energi bisa mencapai 15%.
Di sisi lain, upaya pemerintah menghadirkan insentif dan kebijakan kendaraan listrik juga masih dipertanyakan. Dengan belum adanya industrialisasi kendaraan listrik, energi berbasis fosil masih menjadi andalan.
Dalam Outlook Energi BPPT 2018, tren pertumbuhan konsumsi energi akan didorong oleh sektor industri dan transportasi.
Tunjukkan Visi
Ekonom Senior INDEF Faisal Basri mengatakan dua pasangan capres dan cawapres harus mampu menunjukkan visi industri yang matang untuk membawa perubahan dalam sektor energi nasional.
Pasalnya, selama ini kebijakan energi nasional condong lebih mengutamakan produksi daripada mencari cadangan baru. Berbeda dengan negara-negara tetangga yang jumlah cadangan migas dari tahun ke tahun terlihat flat, sementara Indonesia mengalami kemerosotan.
“Buktinya SDA jadi bumper makro ekonomi nasional. Harusnya tidak boleh kita begini, SDA harusnya diperlakukan sebagai dijadikan pembangunan nasional,” ujar Faisal.
Faisal mengutip data BP Stastictical of World Energy 2017, dengan cadangan batu bara sebesar 2,2% dunia, Indonesia memproduksi sebanyak 7,2% dari total produksi dunia dan mengekspor sebesar 16,1% dari total nilai ekspor batu bara dunia.
Failsal mengatakan ekspor batu bara dijadikan untik mendulang devisa, sementara berbeda dengan negara lainnya yang memprioritaskan produksi untuk dalam negeri.
Misalnya saja, Amerika Serikat yang memiliki cadangan batu bara dengan persentase 22% dari seluruh dunia, Negeri Paman Sam memproduksi batu bara sebesar 9,9% dari total produksi dunia. Sementara itu, kontribusi volume ekspor batu bara Amerika hanya sebesar 8,9% dari seluruh dunia.
Atas kritik di atas, sebenarnya pemerintah juga telah melakukan beberapa terobosan di sektor migas. Sebut saja, terkait rezim skema bagi hasil gross split. Rezim gross split yang menggantikan cost recovery, nyata-nyatanya telah diterima oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).
Hingga akhir Januari 2019, setidanya sudah ada 37 wilayah kerja (WK) yang mengadopsi gross split. Bulan depan, Kementerian ESDM menargetkan setidaknya ada 5 WK lagi yang akan meninggalkan cost recovery dan berganti menjadi gross split.