Bisnis.com, JAKARTA - Sejak Soeharto tak lagi berkuasa, agama Khonghucu pun mendapat pengakuan kembali, dan atribut kebudayaan Tionghoa bebas dipakai, termasuk perayaan Imlek.
Mendiang Abdurahman Wahid, biasa disapa Gus Dur, merupakan orang pertama pascarezim Orde Baru (Orba) yang memikirkan nasib kaum minoritas. Salah satu yang patut dikenang yaitu mencabut beleid pelarangan atribut dan perayaan tradisional Tionghoa, produk hukum Orba.
Selama 1968-1999, ekspresi budaya Tionghoa dibungkam. Tidak saja perayaan yang dikekang, kiprah sosial kaum minoritas itupun dikerdilkan, terlebih dengan penerapan Inpres Nomor 14/1967 melarang segala hal yang berbau Tionghoa.
Ali Mustajab, anggota Forum Gusdurian Yogyakarta dalam Jurnal Agama dan HAM (2015), menuliskan sikap teguh Gus Dur membela minoritas Tionghoa. Menurutnya, sosok Gus Dur melihar bahwa masyarakat tersebut merupakan salah satu unsur pembentuk wajah Indonesia.
Pandangan itu sejalan dengan pernyataan Gus Dur yang dikutip dari Buku, “Islam ku Islam Anda Islam Kita”, terbitan The Wahid Institute (2006).
Gus Dur menganggap keadilan bagi etnis Tionghoa harus disejajarkan sebagaimana suku bangsa lainnya.
“Orang-orang seperti John Lie yang turut angkat senjata memperjuangkan kemerdekaan kita, adalah bukti dari perjuangan mereka mempertahankan kemerdekaan dari serangan Belanda. Yang sangat menyakitkan, mereka dianggap sebagai orang lain,” tulis Gus Dur.
Tentu saja, menganggap mereka sebagai orang lain adalah kesalahan besar yang harus kita koreksi. Kalaupun ada ikatan dengan tanah leluhur, itu tidak lain hanya sesuatu yang bersifat kultural dan historis belaka.
“Sama dengan orang Minahasa dan orang Minangkabau menggunakan nama-nama barat, seperti Frederick Waworontu dan Emil Salim, yang tidak menjadikan mereka Barat,” tulis cucu Pendiri NU Hasyim Asy,’ari itu.
Sebagai lanjutan, Gus Dur selalu melawan stigma miring terhadap minoritas. “Saya selalu melawan anggapan atau penyebutan umat Budha, yang sebagian besar dianut oleh suku Tionghoa di negeri ini, sebagai "warga keturunan”.”
Selayaknya, perlakuan Tionghoa harus sama sebagaimana halnya ada orang Papua, orang Aceh, orang Sunda dan sebagainya.
ASA MASIH ADA
Periode Mei 1998, adalah masa teror bagi etnis Tionghoa. Protes mahasiswa terhadap Soeharto, dikacaukan dengan berbagai kerusuhan berbau etnis yang menyasar masyarakat Tionghoa.
Beberapa pentolan aktivis 1998, menengarai kerusuhan rasial yang berbentuk pembakaran rumah, pusat pertokoan, hingga perkosaan warga etnis Tionghoa merupakan konspirasi elit untuk menciptakan kekalutan. Sehingga tuntutan perubahan politik yang digulirkan mahasiswa pun tak lagi jadi fokus masyarakat.
Sayangnya, lagi-lagi sasaran korban adalah etnis Tionghoa. Kerusuhan rasial itu merebak, terbesar terjadi di Jakarta dan Solo.
Di tengah keputusasaan tersebut, Gus Dur yang kemudian menggantikan Habibie sebagai Presiden Keempat RI, memberikan asa baru bagi minoritas. Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14/1967.
Seperti dikutip dari Bisnis Indonesia Weekend, Edisi 7 Februari 2016, kebijakan Gus Dur itu banyak menuai penolakan dengan alasan khawatir komunisme kembali hidup di Indonesia. Namun, bagi mantan Ketua Umum PBNU itu, seperti yang diungkapkan mantan Asisten Pribadi Gus Dur Ngatawi Al Zastrouw, Gus Dur adalah budayawan dan agamawan.
Menurut Gus Dur, Imlek dan tradisi barongsai merupakan bagian dari kebudayaan. Jika dikelola dengan baik dan benar dapat menjadi sarana menyebarkan nilai-nilai kebaikan, seperti yang dilakukan oleh para Wali dalam menyebarkan Islam di Indonesia, melalui wayang.
Kehadiran Gus Dur sebagai jembatan untuk memberikan hak yang sama bagi etnis Tionghoa di Indonesia juga diakui oleh novelis Remy Silado.
“Pada masa Gus Dur lah, tradisi barongsai mulai dipertontonkan, dan kini sudah mendunia.”
Hari ini, Selasa (5/2/2019), Imlek kembali dirayakan. Banyak yang mengenang jasa Gus Dur, di jagad maya beredar tagar #terimakasihGusDur yang melesat sebagai topik terpopuler.
Meski dalam waktu singkat menjabat, “ ulah” Gus Dur banyak bertuah. Seperti setiap Imlek tiba, banyak yang mengenang jasanya.