Bisnis.com, JAKARTA – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menjelaskan salah satu faktor penyebab turunnya angka partisipasi pemilih yang memicu kenaikan golput dalam Pilpres disebabkan minimnya pilihan kandidat capres-cawapres.
Oleh sebab itu, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mendorong ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold mesti dihapus pada Pemilu 2024.
"Saya selalu bilang ketika kita uji materi ke Mahkamah Konstitusi, salah satu resiko memaksakan pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden adalah saluran politik yang dianggap oleh warga, tidak terfasilitasi oleh keterbatasan calon yang tersedia. Itu salah satu argumentasi yang kami sampaikan," ungkap Titi, Minggu (3/1/2019).
Presidential threshold mengharuskan partai politik atau gabungan partai politik (koalisi parpol) memiliki 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional sebagai syarat mengusung pasangan Capres-Cawapres.
"Sekarang saja terjadi fragmentasi partai yang tidak terlalu sungguh-sungguh bekerja memenangkan capres. Karena kenapa? Mereka pun harus memastikan keterpilihan mereka di tengah ambang batas parelemen atau parliamentary threshold 4%," ungkap Titi.
Hal ini mengacu hasil Pileg 2014, tidak ada parpol yang bisa mengusung Capres-Cawapres tanpa berkoalisi. Suara terbanyak yaitu PDI Perjuangan hanya 18,95%, disusul Partai Golkar 14,75%, dan Partai Gerindra di urutan ketiga dengan 11,81% suara sah nasional.
Oleh karena itulah, parpol mau tidak mau harus berkoalisi dan akibatnya kandidat yang bisa maju bertarung dalam kontestasi pilpres pun tak beragam.
"Jadi, untuk Pemilu 2024, ambang batas presiden harus dihilangkan kalau kita ingin menggairahkan politik kita lagi," jelas wanita kelahiran Palembang, 12 Oktober 1979 ini.