Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia menjadi negara kepulauan pertama di dunia yang memiliki bagan pemisahan alur laut atau Traffic Separation Scheme (TSS).
Sejarah baru tersebut ditandai dengan keputusan dalam sidang plenary Organisasi Maritim Internasional (IMO) Sub Committee Navigation Communication and Search and Rescue (NCSR) ke-6 pada di London, Jumat (25/1/2019).
Melalui sidang tersebut, IMO menyetujui dan mengesahkan bagan pemisah alur laut di Selat Sunda dan Selat Lombok yang diajukan oleh Indonesia. Keputusan tersebut akan diadopsi dalam Sidang IMO Maritime Safety Committee (MSC) ke-101 pada Juni 2019 mendatang.
TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok bukanlah yang pertama dimiliki Indonesia. Bersama dengan Malaysia dan Singapura, Indonesia memiliki TSS di Selat Malaka.
Berbeda dengan TSS di Selat Malaka yang wewenang pengaturannya dipegang oleh 3 negara, kewenangan mengatur TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok hanya dimiliki oleh Indonesia. Hal inilah yang menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan pertama di dunia yang memiliki TSS melalui pengesahan oleh IMO dan berada di dalam ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) I dan ALKI II.
ALKI merupakah wilayah perairan Indonesia yang bebas dilintasi oleh kapal-kapal internasional (freedom to passage) sebagaimana tertuang dalam UNCLOS 1982.
"Dipercayainya Indonesia oleh IMO untuk mengatur TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok yang juga merupakan ALKI tersebut menunjukan peran aktif Indonesia dalam bidang keselamatan dan keamanan pelayaran internasional serta memperkuat jati diri Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia," ujar Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan R. Agus H. Purnomo dalam keterangan pers yang diterima Bisnis, Jumat (25/1/2019).
Dengan disepakatinya TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok, tugas berat telah menanti untuk diselesaikan Indonesia. Pasalnya, IMO terus memonitor pelaksanaan dan implementasi TSS di kedua selat tersebut.
Pemerintah Indonesia masih memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan, antara lain melakukan pemenuhan sarana dan prasarana penunjang keselamatan pelayaran di area TSS yang telah ditetapkan. Sarana tersebut meliputi Vessel Traffic System (VTS), Stasiun Radio Pantai (SROP), Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP), serta peta elektronik terkini dan menjamin operasional dari perangkat-perangkat penunjang keselamatan pelayaran tersebut selama 24 jam.
Agus juga menambahkan bahwa Pemerintah Indonesia juga wajib mempersiapkan regulasi, baik lokal maupun nasional terkait dengan operasional maupun urusan teknis dalam rangka menunjang keselamatan pelayaran di TSS yang telah ditetapkan, serta melakukan koordinasi dan konsolidasi dengan para instansi dan stakeholder terkait dengan penetapan TSS tersebut.
"Perjuangan Indonesia belum berakhir. Siapkan dengan baik mengingat tugas berat menanti setelah TSS tersebut disetujui IMO dan berlaku secara Internasional setelah diadopsi pada Juni 2019. Persetujuan itu akan mulai diberlakukan satu tahun kemudian yaitu Juni 2020," papar Agus.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Kenavigasian, Basar Antonius mengatakan bahwa penetapan TSS di selat Sunda dan Selat Lombok oleh IMO memang diperlukan untuk menjamin keselamatan pelayaran di selat yang menjadi ALKI dan cukup ramai lalu lintasnya.
"Berdasarkan data, sebanyak 53.068 unit kapal dengan berbagai jenis dan ukuran melewati Selat Sunda setiap tahunnya serta sebanyak 36.773 unit kapal dengan berbagai jenis dan ukuran melewati Selat Lombok setiap tahunnya," ujar Basar.
Selat Sunda, lanjut Basar adalah salah satu selat yang paling penting di Indonesia. Selat Sunda merupakan jalur lalu lintas yang dikategorikan sebagai ALKI I dari selatan ke utara. Jalur ini memiliki kepadatan tinggi dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera yang sebagian besar dilalui oleh kapal penumpang.
Selain itu, di Selat Sunda juga terdapat beberapa wilayah yang ditetapkan sebagai daerah konservasi laut dan wisata taman laut yang wajib dilindungi, salah satunya adalah Wilayah Pulau Sangiang yang telah ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam Laut.
“Di Selat Sunda juga terdapat 2 gugusan terumbu karang, yaitu Terumbu Koliot dan Terumbu Gosal yang berbahaya bagi pelayaran,” tambah Basar.
Adapun Selat Lombok yang masuk dalam ALKI II, juga memiliki lalu lintas dengan kepadatan tinggi karen berada di kawasan wisata.
Basar menjelaskan pemisahan alur lalu lintas yang berlawanan di daerah tersebut dan penetapan precautionary area pada rute persimpangan dapat memberi kepastian bagi kapal-kapal yang melintas. Kapal-kapal itu bisa memeperoleh informasi yang memadai mengenai lalu lintas di sekitarnya sehingga mengurangi risiko terjadinya tubrukan kapal.