Bisnis.com, JAKARTA - Tim Penyidik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri wajib menjalankan penyitaan sertifikat PT Geria Wijaya Prestige (GWP) untuk dijadikan barang bukti utama pada perkara pidana penggelapan sertifikat tersebut.
“Kalau sudah mendapatkan izin dari pengadilan, itu wajib hukumnya menjalankan penyitaan. Justru jadi pertanyaan, sudah ada izin penyitaan, kok malah tidak jalankan tugas penyitaan,” kata Profesor Muzakir, pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Jumat (18/1/2019).
Muzakir dimintai tanggapan terkait dengan berlarut-larutnya penanganan perkara penggelapan sertifikat PT GWP yang ditangani Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri yang hingga kini belum tuntas pemberkasannya meski sudah diproses sejak dilaporkan pada 21 September 2016.
Muzakir menegaskan penyidik Bareskrim harus profesional menjalankan tugasnya, apalagi agenda penyitaan itu sudah memperoleh izin sesuai dengan peraturan kapolri.
“Kalau sertifikat itu bagian dari alat bukti yang penting dan menentukan suatu perkara, maka penyidik wajib untuk menyitanya. Justru penyidik bisa dikenakan sanksi kalau tidak menjalankan penyitaan itu,” papar Muzakir.
Bareskrim sebelumnya menyatakan siap melanjutkan penyitaan tiga sertifikat PT GWP yang dikuasai PT Bank China Construction Bank Indonesia (CCB) Tbk. Hal itu terungkap dalam salinan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) ke-6 tertanggal 21 Desember 2018 yang diberikan Bareskrim kepada Edy Nusantara, kuasa Fireworks Ventures Limited, selaku pelapor perkara tersebut.
Rencana penyitaan itu merupakan tindaklanjut dari penggeledahan pada 15 Maret 2018 di Kantor Pusat Bank CCB, Jakarta, di mana penyidik Bareskrim mendapatkan kepastian bahwa tiga SHGB atas nama PT GWP dikuasai dan berada di CCB.
Hal senada diakui CCB dalam laman resminya, 10 Agustus 2018. Kepada penyidik, waktu itu manajemen CCB hanya memperlihatkan sertifikat PT GWP, dan tidak menyerahkan dengan alasan penyidik Bareskrim tidak membawa izin penyitaan.
Penyidik lalu meminta izin ke PN Jakarta Selatan, yang kemudian menerbitkan penetapan izin penyitaan sertifikat PT GWP dalam Surat Penetapan Nomor 16/Pen. Sit. 2018/PN Jkt. Sel pada 29 Maret 2018.
Dokumen asli sertifikat diperlukan penyidik Bareskrim untuk melengkapi berkas perkara pidana penggelapan sertifikat PT GWP seperti yang diminta Kejagung dalam petunjuknya (P-19).
Petunjuk Jaksa
Neta S. Pane, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), pernah menegaskan bahwa wajib bagi penyidik Bareskrim untuk memenuhi petunjuk jaksa dalam pemberkasan suatu perkara.
Fireworks Ventures Limited adalah pemegang piutang atau hak tagih (cessie) PT GWP setelah membeli dan menerima pengalihan piutang atas nama debitur PT GWP dari PT Millenium Atlantic Securities (MAS) pada 2005.
MAS memenangkan lelang aset kredit (piutang) PT GWP melalui Program Penjualan Aset Kredit (PPAK) VI yang digelar BPPN pada 2004 dan telah menuntaskan kewajiban pembayaran piutang yang dibelinya itu kepada BPPN.
Masalahnya, meski seluruh dokumen aset kredit sudah diterima Fireworks, namun jaminan kredit berupa sertifikat PT GWP dikuasai pihak lain, padahal hak kebendaan melekat dalam piutang/hak tagih.
Dari sinilah Fireworks melakukan upaya hukum untuk mendapatkan sertifikat PT GWP dengan melaporkan dugaan penggelapan sertifikat PT GWP pada 21 September 2016 ke Dirtipidum Bareskrim Polri yang tertuang dalam LP/948/IX/2016.
Dalam kasus tersebut, Tim Penyidik Bareskrim telah menetapkan dua tersangka, yaitu Priska M. Cahya (eksekutif Bank Danamon) dan Tohir Sutanto (mantan Direktur PT Bank Multicor/kini Bank CCB). Namun, sekonyong-konyong penanganan perkara di Bareskrim itu terkatung sejak tersiar kabar Bank CCB mengalihkan klaim piutangnya atas PT GWP kepada pengusaha Tomy Winata melalui akta bawah tangan 12 Februari 2018. Dengan pengalihan piutang yang masih dalam sengketa itulah, Tomy melalui kuasa hukumnya, Desrizal Chaniago, melaporkan Hartono Karjadi (salah satu pemegang saham PT GWP) ke Ditreskrimsus Polda Bali.
Belakangan, Hartono membuat laporan kepada Kepolisian Singapura karena merasa diintimidasi oleh dua anggota Polda Bali yang menemuinya di RS Mount Elizabeth, Singapura, pada Oktober 2018, ketika dirinya tengah berada di ruang pemulihan setelah menjalani tindakan kolonoskopi.