Bisnis.com, JAKARTA — Peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974 merupakan peristiwa pemberangusan sejumlah media massa yang mengkritisi kebijakan Presiden ke-2 Soeharto atas kebijakannya dalam membuka keran investasi asing ke Indonesia.
Beberapa media massa yang bersuara lantang untuk mengkritisi kebijakan masuknya investasi asing itu di antaranya adalah Tempo, Kompas, Sinar Harapan dan Indonesia Raya.
Sejarawan Universitas Indonesia (UI) Anhar Gonggong menuturkan investasi asing yang pertama kali masuk ke Indonesia atas izin Soeharto berasal dari Jepang melalui Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka pada 1974.
Sebenarnya, investasi tersebut dibutuhkan oleh Indonesia, karena pada masa awal periode Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, Indonesia menjadi negara yang dinilai bangkrut oleh dunia, sehingga butuh investasi asing untuk membangun kembali Indonesia.
"Alasan Soeharto menerima investasi dari Jepang, yaitu karena pada masa itu masyarakat Indonesia masih anti terhadap kebarat-baratan dan juga anti malaysia," tuturnya kepada Bisnis, Selasa (15/1/2019).
Anhar juga menceritakan Soeharto pada masa itu tidak hanya menerima investasi masuk dari Jepang saja, tetapi juga dari negara lain. Adanya beberapa tokoh nasional yang memiliki kedekatan dengan pimpinan negara lain yaitu Frans Seda, Soemitro dan Hamengkubuwono dimanfaatkan Soeharto untuk mencari investasi lainnya, selain dari Jepang.
Setelah itu, masuklah investasi dari Amerika Serikat dan Belanda ke Indonesia melalui tokoh nasional itu setelah Jepang menaruh Toyota Foundation di Tanah Air.
Investasi dalam jumlah yang cukup besar tersebut akhirnya dimanfaatkan Soeharto untuk membangun beberapa ruas jalan raya, membuka jalan yang tidak ada sebelumnya hingga membuat bandar udara.
"Kalau sudah dapat investasi, lalu tidak dibangun jalan, mau dipakai untuk apa dananya. Kemudian Soeharto membangun jalan untuk memudahkan sistem transportasi agar bisa dilalui kendaraan dan membuka lapangan terbang untuk memudahkan menyebrang dari pulau ke pulau," katanya.
Pembangunan yang secara massif dilakukan oleh Soeharto itu, ternyata membuat sejumlah negara lain iri dan memuji pembangunan infrastruktur Presiden Indonesia Soeharto pada masa itu.
Namun, sayangnya pembangunan infrastruktur itu tidak didukung oleh seluruh masyarakat Indonesia. Tetapi justru menimbulkan masalah baru, sebagian masyarakat Indonesia tidak setuju dengan kebijakan Presiden Soeharto yang membuka keran investasi asing secara liberal tanpa ada aturan yang jelas.
Didikte Asing
Selain itu, masyarakat yang menolak investasi asing tersebut juga menilai bahwa Pemerintah Soeharto terlalu banyak didikte oleh negara asing yang telah menanamkan modalnya di Indonesia. Sehingga tidak ada kedaulatan lagi di Indonesia.
"Penolakan ini terjadi tidak hanya karena Pemerintah masa itu didikte bangsa asing, tetapi juga semua aset negara seakan-akan dijual. Semua bantuan juga bebas masuk. Akhirnya terjadi pergolakan tidak hanya di masyarakat saja, tetapi juga di kalangan elite bahkan Ali Moertopo sama Soemitro juga berkelahi," ujarnya.
Untuk memperkuat penolakan investasi asing itu di Indonesia, sejumlah media massa lokal juga tidak pernah berhenti menulis artikel yang mengkritik tajam pemerintah atas kebijakannya. Kemudian, dimulailah pemberangusan sejumlah media massa yang dinilai tidak sejalan dengan gagasan Presiden Soeharto.
Dampak dari investasi asing tersebut menurut Anhar juga menimbulkan tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh keluarga Presiden Soeharto. Selain itu, sejumlah departemen di bawah pemerintahannya juga ikut menjadi lembaga yang korup karena aliran investasi asing tidak dibatasi untuk masuk ke Tanah Air.
"Indonesia memang sempat dianggap menjadi negara yang mengagumkan pembangunannya pada masa itu. Tetapi korupsi keluarga Soeharto kan jalan terus. Semua departemen akhirnya juga ikut korupsi dan korupsi dulu itu dilakukan di bawah meja, tapi korupsi sekarang dilakukan di atas meja," tuturnya.
Sementara di Kantor Seknas Prabowo-Sandi, Jakarta, Selasa (15/1/2019), digelar diskusi publik topic of the week bertajuk "Refleksi Malari: Ganti Nakhoda Negeri?"
Mencuat dalam acara tersebut bantahan soal-soal politik "genderuwo" yang sering dihembuskan oleh pihak lain kepada pasangan calon nomor urut 02 ini.
Wakil Ketua Dewan Penasihat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Hidayat Nur Wahid, mengatakan, Prabowo pernah mengatakan bahwa Indonesia akan punah dan bubar. Padahal, kata dia, Prabowo hanya mengutip pernyataan pakar. Oleh karena itu, Prabowo hadir agar Indonesia tidak punah dan bubar.
"Yakni, lepas dari utang luar negeri, mampu memakmurkan seluruh rakyat, tentara. Indonesia tidak bubar dan punah. Itu optimisme yang disampaikan Prabowo dalam pidatonya," kata Wakil Ketua Majelis Syuro PKS ini.
Dalam acara yang sama, Anggota Dewan Pembina BPN Prabowo-Sandi, Amien Rais, mengatakan calon presiden Prabowo Subianto berjanji akan merangkul kelompok oposisi di dalam pemerintahannya manakala menang dalam Pilpres 2019.
"Saya sering ketemu pak Prabowo. Jadi ini betul-betul yang mau dikerjakan pak Prabowo, Mas Amien Insya Allah kalau kita menang kita akan buat pemerintahan yang merupakan tim, yang dulu oposisi, yang dulu bertentangan itu akan dirangkul. Bila presidennya sudah Pak Prabowo," kata Amien Rais saat menjadi pembicara.
Hidayat Nur Wahid dan Amien Rais dalam materinya menekankan potensi ganti nakhoda negara ini melalui Pemilihan Presiden 17 April 2019.