Kabar24.com, JAKARTA — Pakar Komunikasi Politik Universitas Paramadina Hendri Satrio membandingkan militansi relawan pendukung pasangan calon presiden dan wakilnya nomor urut satu, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, dengan pesaingnya nomor urut dua Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Menurut Hendri, yang juga pendiri lembaga survei KedaiKOPI, saat ini calon petahana Joko Widodo kehilangan banyak relawan yang berhasil mengantarkannya pada kursi RI-1 pada Pemilihan Presiden 2014.
Hendri menilai, banyak relawan Joko Widodo yang cukup berpengaruh, saat ini diangkat menjadi komisaris di beberapa perusahaan pelat merah. Sedangkan relawan Prabowo kian kuat militansinya. Hal itu terlihat dari massa aksi reuni 212 pada akhir pekan lalu.
“Panggung 2014 dan 2019 beda. Pada 2014 Pak Jokowi memiliki relawan yang sedemikian banyak yang bisa diandalkan meraih suara. Nah kalau 2019 relawannya banyak yang sudah menjadi komisaris jadi sulit mengharapkan relawan itu. Sementara Pak Prabowo, misalnya 212 dan sebagainya yang sangat militan. Jadi menarik,” ujarnya, Selasa (4/12/2018).
Hal itu diungkapkan Hendri dalam diskusi bertajuk "Carut Marut Komunikasi Kebijakan Jokowi: Konsistensi, Inkonsistensi dan Ambivalensi" di Sekretariat Nasional Prabowo-Sandi, Menteng, Jakarta Pusat.
Hendri menganalisa, pengaruh relawan tersebut sangat kuat untuk meraup suara. Oleh karena itu, jika calon petahana ingin mempertahankan dan meningkatkan elektabilitas, basis relawan itu perlu dibenahi dan diperkuat kembali.
Jika tidak, kata dia, elektabilitas Joko Widodo bisa tergerus. Bahkan dia memperkirakan persentasenya bisa berimbang pada awal tahun depan.
“Kalau di 2014 kan Pak Jokowi dibantu oleh para relawan-relawan. Sekarang relawan itu sudah jadi komisaris. Ya udah tinggalkan dulu kursi empuknya, turun lagi ke lapangan, bantu lagi Pak Jokowi. Kalau enggak ya seperti yang saya perkirakan di Maret, Februari bisa fifty-fifty nanti,” ujarnya.
Hendri menilai, relawan pendukung Joko Widodo pada 2014 saat ini seharusnya menyaksikan dan mengikuti perkembangan elektabilitas calon presiden nomor urut satu. Pada September-Oktober 2018 memang rerata disparitas elektabilitas kedua calon presiden dan wakilnya memang masih 20%.
Namun tentunya pihak oposisi tidak akan diam saja. Terlebih, pemilu presiden 2019 memiliki waktu kampanye yang lebih panjang dibandingkan kontestasi serupa sebelumnya.
Apa lagi, lanjut Hendri, masyarakat belum puas dengan kondisi ekonomi dan masalah penegakan hukum pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
“Dengan kondisi ekonomi seperti ini, kemudian dengan hukum yang belum bisa terlalu dibanggakan oleh Pak Jokowi maka disparitas ini makin lama makin kecil. Lagi-lagi Pak Prabowo punya militansi 212, seharusnya sekarang yang bisa mengimbangi itu siapa, ya relawan-relawan Pak Jokowi. Kecuali kalau relawannya cuma ingin menjadi komisaris 5 tahun. Jadi ya enggak usah turun ke lapangan,” tuturnya sambil tertawa.