Bisnis.com, JAKARTA — Pebisnis Inggris terancam tidak dapat mengakses pasar procurement publik jika Organisasi Dagang Internasional (WTO) pekan ini menolak pengajuan pendaftaran keanggotaan dari Inggris.
Nilai proyek procurement publik tersebut mencapai US$1,7 triliun dan tergabung dalam Kesepakatan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (Government Procurement Agreement/GPA). Adapun, keanggotaan Inggris dari GPA akan hilang seiring dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa pada Maret 2019.
Sebelumnya, pada 27 November 2018, Inggris telah mengajukan penawaran untuk mendaftar jadi anggota dan bergabung dengan 46 negara lainnya di dalam GPA.
Namun, jika Inggris gagal bergabung dalam pakta tersebut, perusahaan Inggris tidak dapat lagi mengajukan penawaran untuk kontrak pemerintah di negara-negara anggota GPA, termasuk pasar procurement publik milik AS yang senilai US$837 miliar.
Sementara itu, kendala yang dihadapi Inggris saat ini adalah setiap negara anggota di GPA bisa saja memberikan suara tidak setuju untuk mengizinkan Inggris bergabung dengan GPA sebagai satu negara independen (tidak dalam bagian UE).
“Untuk dapat diterima, dalam teorinya setiap negara dapat melakukan veto. Jika kita kita mendapatkan persetujuan mereka [negara anggota GPA], kita tidak akan menjadi anggota GPA,” kata Dubes Inggrsi untuk WTO Julian Braithwaite di hadapan para pembuat kebijakan di London, seperti dikutip Bloomberg, Senin (26/11/2018).
Adapun hampir setengah dari negara-negara anggota GPA, termasuk AS dan Jepang, telah menolak aplikasi pendaftaran dari Inggris bulan lalu.
Beberapa pihak pun menilai bahwa penawaran yang diberikan Inggris telah terlalu ‘ketinggalan jaman’ dan berisi komitmen yang tidak sempurna.
Kendati seluruh negara anggota GPA ingin tetap dapat mengakses pasar procurement publik milik Inggris yang senilai 67 miliar pound sterling (US$76 miliar, negara-negara anggota GPA tersebut tampak ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk mendapatkan beberapa konsesi untuk sejumlah proyek di Inggris, seperti proyek kereta api cepat maupun proyek ekspansi Bandara Heathrow.
Adapun tujuan dari GPA adalah untuk membuka, secara resiprokal, pasar procurement pemerintah untuk kompetitor asing, dan membantu transparansi pengeluaran publik di antara anggota-anggota GPA.
Pejabat di Inggris pun meminta supaya keanggotaan Inggris dapat diberikan secepatnya karena Inggris merupakan anggota lama GPA dengan statusnya berada di bawah UE.
Inggris menyampaikan, keanggotaan yang baru pun tidak akan banyak mengubah komitmen yang telah diberikan selama ini dan tidak akan merugikan mita dagang yang lain.
Akan tetapi, bulan lalu, beberapa anggota GPA secara terpisah menolak penawaran Inggris ketika mengajukan aplikasi pendaftaran. Beberapa di antaranya menyebut berkas yang diajukan Inggris merupakan replika dari penawaran UE pada 2004.
Beberapa negara yang lain juga menyebut bahwa penawaran tersebut tidak memberikan pertimbangan mengenai beberapa agensi baru milik Inggris yang terbentuk setelah 2004, seperti Departemen untuk Perdagangan Internasional dan Departemen Keluar dari Uni Eropa.
Namun demikian, Braithwaite menambahkan, Inggris telah memberikan penawaran untuk mengakomodasikan permintaan AS, yaitu dengan merevisi beberapa jadwal. Namun demikian, dia menegaskan, hal itu hanya akan dilakukan jika AS menerima keanggotaan Inggris di GPA.
Seorang juru bicara untuk Kantor Perwakilan Dagang AS menyampaikan bahwa posisi AS terkait persetujuan untuk menerima Inggris sebagai anggota GPA akan diberikan dalam beberapa hari ke depan.
Menurut Braithwaite, jika AS menerima penawaran dari Inggris, hal itu dapat mengubah pandangan negara-negara anggota lain yang sempat menolak Inggris sebelumnya.