Kabar24.com, DENPASAR—Pengacara pengusaha Hartono Karjadi menilai penetapan kliennya sebagai DPO oleh Polda Bali merupakan tindakan tidak benar dan menyesatkan.
Kuasa hukum Hartono Karjadi, Boyamin Saiman menuturkan kliennya pergi ke Singapura untuk kepentingan berobat dan perawatan atas sakit yang dideritanya.
Hal itu dapat dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan atau klinik/rumah sakit tempat yang bersangkutan menjalani pemeriksaan medis.
“Tidak benar dan menyesatkan jika dikatakan bahwa pengusaha Hartono Karjadi, yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Bali sebagaimana Laporan Polisi No: 74/ II/ 2018/ SKPT tanggal 27 Februari 2018, dalam perkara dugaan memberikan keterangan palsu dalam akta otentik gadai saham PT Geria Wijaya Prestige [pemilik dan pengelola Hotel Kuta Paradiso di Bali], telah melarikan diri atau kabur ke Singapura untuk menghindari proses hukum,” jelasnya dalam keterangan resmi dikutip Junat (21/9/2018).
Lebih lanjut dijelaskan terkait panggilan pemeriksaan yang dilayangkan penyidik Polda Bali terhadap kliennya, bahwa pihaknya baru dua kali menerima panggilan pemeriksaan 2 kali sejak ditetapkan sebagai tersangka. Panggilan ke-1 tanggal 14 Agustus 2018 dan yang ke-2 tanggal 23 Agustus 2018.
Boyamin menuturkan Hartono Karjadi berangkat berobat ke Singapura tanggal 20 Agustus 2018.
Dia menekankan atas ketidakhadiran Hartono Karjadi memenuhi panggilan penyidik, kuasa hukum selalu menyampaikan pemberitahuan/berkomunikasi, hingga hadir di Polda Bali, dan menyampaikan kepada penyidik terkait alasan kenapa Hartono Karjadi berhalangan hadir untuk diperiksa.
“Termasuk dengan menyampaikan surat keterangan medis tertanggal 23 Agustus 2018 dan 29 Agustus 2018. Lantas kami juga mengirim pemberitahuan resmi dengan surat tertanggal 30 Agustus 2018 ke penyidik bahwa klien kami masih belum selesai menjalani pemeriksaan medisnya di Singapura,” jelasnya.
Menurutnya, status DPO yang dilekatkan kepada Hartono Karjadi adalah upaya stigmatisasi (memberi cap negatif) seolah-olah kliennya tidak kooperatif dan tidak patuh hukum.
Karena itu, Bonyamin menyesalkan cara-cara penyidik Pold Bali menggiring opini tersebut.
“Hartono Karjadi bukan teroris atau koruptor. Dia adalah pengusaha biasa, dan tidak pernah melakukan tindak pidana apapun,” paparnya.
Dia menyebut Hartono Karjadi sesungguhnya tidak pernah punya hubungan hukum apapun dengan pengusaha berinisial TW yang terakhir ini membuat laporan polisi ke Ditreskrimsus Polda Bali melalui kuasa hukumnya.
Setelah pengusaha TW menerima pengalihan piutang (cessie) PT GWP dari Bank China Construction Bank Indonesia (CCB) pada 12 Februari 2018.
Persoalannya, kata dia, pengalihan piutang (hak penagihan) yang digunakan TW sebagai legal standing melaporkan Hartono Karjadi tersebut masih dalam proses gugatan pengesahan di PN Jakarta Pusat.
Di sisi lain, keabsahan piutang yang dialihkan CCB tersebut juga masih terkait dalam perkara dugaan penggelapan sertifikat PT GWP yang tengah diproses Bareskrim Polri atas laporan Fireworks Ventures Limited dengan 2 tersangka, yaitu Priska M. Cahya dan Tohir Sutanto.
Sehari sebelumnya, Polda Bali melalui Direskrimsus menetapkan Hartono Karjadi sebagai DPO atas kasus pemalsuan akta tanah Hotel Kuta Paradiso, Badung.
Dia dilaporkan oleh Desrizal selaku kuasa hukum TW karena dugaan memalsukan keterangan palsu dalam akta otentik dan atau penggelapan atau pencucian uang.
Dugaan keterangan palsu itu bertempat di salah satu kantor notaris di Kuta menindaklanjuti laporan tersebut polisi setelah melakukan pemeriksaan kemudian menetapkan Hartono Karjadi sebagai tersangka. Namun, Hartono kemudian mengajukan praperadilan terhadap statusnya ke PN Jakarta Selatan.
Hanya saja, hakim kemudian menolak gugatan praperadilan tersebut. Karena kalah itulah, status hukumnya sebagai tersangka dianggap sah oleh kepolisian Polda Bali.