Bisnis.com, JAKARTA – Keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang menyatakan tidak terjadi misrepresentasi atas kewajiban pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim, dinilai sudah tepat.
Sebab, keputusan itu berdasarkan hasil penilaian hukum (Legal Due Dilligence/LDD) oleh Kantor Hukum Lubis, Gani, Surowidjojo (LGS) serta penilaian keuangan (Financial Due Dilligence/FDD) yang dilakukan oleh Ernst and Young (EY).
Selanjutnya, KKSK memutuskan seluruh kewajiban Sjamsul Nursalim sebagai pemegang saham BDNI berdasarkan perjanjian Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) sudah dipenuhi.
Hal itu diungkapkan oleh Kepala Divisi Aset Manajemen Investasi (AMI) Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode 2002-2004 Ary Zulfikar saat memberikan keterangan sebagai saksi perkara dugaan korupsi terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Sjamsul Nursalim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (9/8/2018).
Ary menjelaskan panjang lebar mengenai proses dan hasil dari LDD dan FDD tersebut. Dasarnya adalah keputusan Sidang Kabinet pada 7 Maret 2002.
“Keputusan KKSK 18 Maret 2002 merujuk keputusan Sidang Kabinet 7 Maret 2002. Keputusan Sidang Kabinet menjalankan perjanjian secara apa adanya,” kata Ary.
Kepada debitur yang sudah menjalankan kewajiban tapi belum sepenuhnya, jelas Ary, ditunjuk konsultan hukum untuk melakukan evaluasi kepatuhan. “Nah, itu yang dijadikan dasar KKSK 18 Maret 2002.”
Menurut Ary, ada beberapa lembaga yang dibentuk untuk melakukan evaluasi yaitu Tim Bantuan Hukum (TBH), Tim Pengarah Bantuan Hukum (TPBH), dan Komite Pengarah (Oversight Committee).
“Yang melakukan evaluasi itu bukan BPPN sendiri, tapi perangkat yang dibentuk oleh KKSK. Nanti mereka yang akan melakukan evaluasi dan menyampaikan kepada BPPN. Lalu, BPPN menyampaikan kepada pemegang saham. Hasil kepada pemegang saham disampaikan lagi kepada TPBH dan OC, dianalisa, kemudian dilaporkan kepada KKSK,” katanya.
Dengan demikian, hasil evaluasi LGS diserahkan kepada TBH kemudian TBH memberikan pendapat hukum yang disampaikan langsung kepada KKSK.“LGS itu menyatakan bahwa perjanjian MSAA, khususnya yang BDNI, itu adalah sah dan mengikat para pihak. Itu kajian pertama dia,” ujarnya.
Kajian LGS, tambah Ary, juga menyinggung mengenai utang petambak.“Jadi, seingat saya LGS mengungkapkan ada beberapa dokumen baik dokumen yang dikeluarkan oleh BPPN mengenai utang petambak juga bantahan dari pemegang saham. Nah, itu diungkapkan semua dalam laporan LGS,” katanya.
Skemanya adalah Inti (Dipasena) menjamin kepada BDNI untuk membayar semua angsuran. Namun per Agustus 1998, Inti tidak membayarkan pokok dan bunga pinjaman plasma dalam mata uang rupiah karena pada bulan tersebut BDNI dinyatakan sebagai Bank Beku Operasi (BBO).“Artinya BDNI pada bulan itu sudah di-takeover oleh BPPN,” tuturnya.
Menurut Ary, dalam MSAA kewajiban menjamin Inti kepada utang petambak sudah diungkapkan. Hasil evaluasi LGS juga menyatakan demikian.
“Dijamin oleh PT Inti Dipasena yang oleh pemegang saham digunakan sebagai aset pembayar atas kewajiban JKPS dan diterima oleh BPPN pada saat itu. Diungkapkan dalam perjanjian MSAA-nya,” paparnya.
Pada bagian lain, Ary mengatakan berdasarkan keputusan KKSK 7 Oktober 2002, BPPN diminta melaporkan secara rinci termasuk pelaksanaan FDD dan penyelesaian Dipasena untuk mendapat persetujuan KKSK.
“FDD dilakukan oleh EY untuk meneliti adakah pernyataan jaminan yang berbeda sehingga memengaruhi nilai dari aset pembayar yang diserahkan oleh pemegang saham kepada BPPN. Sebenarnya untuk menguji misrepresentasi,” katanya.
Kesimpulan dari EY adalah aset yang diserahkan yaitu tiga perusahaan holding berikut dengan anak perusahaannya, ada GT, GT Petrochem, dan DCD, itu specified value-nya kelebihan sebesar USD1,3 juta.
“Dengan pertimbangan bahwa pemegang saham telah mengungkapkan dalam disclosure schedule mengenai kewajiban bersyarat jaminan inti tersebut. Dengan demikian, utang petambak yang dijamin kepada inti tidak memengaruhi nilai transfer Dipasena Group kepada BPPN yang saat itu dinilai Rp19,9 triliun. Jadi di sini EY sudah memberikan opininya terhadap fakta-fakta yang ada terkait utang petambak,” kata dia.
Akhirnya, pada 17 Maret 2004, kata Ary, merupakan saat pemenuhan kewajiban pemegang saham berdasarkan kewajiban yang ditetapkan KKSK tanggal 7 Oktober 2002. “Berdasarkan Keputusan KKSK tanggal 17 Maret 2004 bahwa seluruh kewajiban SN sudah dipenuhi oleh SN. Atas dasar itulah, diterbitkan SKL,” kata Ary.