Bisnis.com, JAKARTA – Surat Keterangan Lunas (SKL) yang diberikan kepada obligor Sjamsul Nursalim dinilai memiliki kekuatan hukum yang sah dan mengikat karena dihasilkan melalui serangkaian pembahasan resmi dalam Rapat Kabinet dan disetujui oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).
“Berarti keputusan SKL itu bukan merupakan keputusan pribadi pejabat, melainkan keputusan kolektif yang sah. Dasar hukumnya sah dan mengikat,” kata pengamat hukum Beni Arbi Batu Bara kepada wartawan di Jakarta, Selasa (17/7/2018).
Menurutnya, keabsahan SKL itu terbukti dengan keputusan KKSK pada rapat 13 Februari 2004 yang dihadiri dan disetujui oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang juga Ketua KKSK (periode 9 Agustus 2001-20 Oktober 2004) Dorodjatun Kuntjoro-jakti.
Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Senin, 16 Juli 2018, dengan terdakwa mantan Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung, Dorodjatun pun membenarkan hal tersebut.
Siapa yang menerbitkan SKL? “BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional),” jawab Dorodjatun ketika ditanyakan oleh Penuntut Umum.
Apakah SKL harus mendapatkan persetujuan KKSK? “Harus,” jawab Dorodjatun.
BPPN pernah menerbitkan SKL untuk Sjamsul Nursalim? “Iya. Saya mengetahui dari laporan-laporan. Saya yang menandatangani [keputusan KKSK],” kata Dorodjatun.
Dalam persidangan juga terungkap, sebelum keputusan KKSK pada 13 Februari 2004 tersebut, telah diadakan Rapat Kabinet pada 11 Februari 2004 yang dihadiri oleh Dorodjatun, Menteri Keuangan Boediono, Menteri Negara BUMN Laksamana Soekardi, Menteri Perdagangan Rini Soewandi, dan Kepala Bappenas Kwik Kian Gie.
Hasil Rapat Kabinet itu ditindaklanjuti dengan keputusan mengenai perubahan penagihan sejumlah kewajiban Sjamsul Nursalim.
Keputusan KKSK 27 Maret 2001 memutuskan penagihan kewajiban dilakukan kepada perusahaan inti; Keputusan KKSK 27 April 2001, ditagihkan kepada Sjamsul Nursalim; Keputusan KKSK 13 Februari 2004, ditagihkan kepada petambak, yang jumlahnya Rp100 juta/orang untuk 11 ribu petambak atau setara Rp1,1 triliun.
Dorodjatun juga membenarkan adanya penghapusbukuan terhadap kewajiban Sjamsul Nursalim sebesar Rp2,8 triliun.
“Memang begitu. Dan saya menekankan adanya sejumlah persyaratan. Di BPPN ada prosedurnya. Panduannya ada di sana, saya harus mempercayai (laporan) mereka,” kata Dorodjatun.
Terkait dengan posisi kewajiban Sjamsul Nursalim dan utang petambak Dipasena sebesar Rp1,1 triliun seperti tersebut di atas, saksi Lukita D. Tuwo, mantan Sekretaris KKSK menyatakan karena sudah diungkapkan dalam disclosure, maka diputuskan tidak ada misrepresentasi.
Sementara itu, saksi lainnya, mantan Deputi BPPN Taufik Mappaenre Maroef menerangkan sebelum keputusan KKSK itu dibuat, pada 16 Desember 2003, telah dilakukan audit keuangan (Financial Due Diligence) terhadap aset-aset Sjamsul Nursalim. Setelah keluar keputusan KKSK pada 13 Februari 2004, dia pun membuat draft SKL.
Pada 27 Maret 2004, lanjut Taufik, keluar persetujuan dari Menteri BUMN Laksamana Sukardi. Hingga akhirnya pada April 2004, diterbitkan SKL untuk Sjamsul Nursalim tersebut.
“Terdapat exit clause yang menyebutkan bahwa semua obligor yang telah menyelesaikan akan dikirim pemberitahuan. SKL itu tidak berdiri sendiri, tapi merujuk pada MSAA/MRNIA/APU. Apabila di kemudian hari ditemukan sesuatu yang menjadi dasar pembatalan, bisa dilakukan,” kata Taufik.
Dengan demikian, kata Taufik, posisi BPPN tentang penerbitan SKL itu adalah diminta berdasarkan keputusan lembaga di atasnya. “Kami diminta untuk menerbitkan SKL,” ujarnya.