Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah bakal calon anggota legislatif atau caleg berlatar belakang mantan terpidana korupsi berencana menggugat PKPU No. 20/2018 tentang Pencalonan Anggota Legislatif ke Mahkamah Agung karena dianggap bertentangan dengan UU Pemilu.
Regginaldo Sultan, kuasa hukum pemohon dari Koalisi Advokat Nawacita Indonesia (KANI), mengatakan kliennya berencana mendaftar sebagai caleg di Pemilihan Umum Legislatif 2019 ke beberapa partai politik. Namun, niat mereka terancam dengan eksistensi PKPU No. 20/2018, sehingga mengajukan permohonan uji materi ke MA.
“Rencananya Senin (9/7/2018) depan didaftarkan uji materinya,” kata Regginaldo ketika dikonfirmasi Bisnis.com, Kamis (5/7/2018).
PKPU No. 20/2018 resmi diundangkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 3 Juli setelah ditetapkan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman sehari sebelumnya. Beleid tersebut memuat norma baru yang tidak membolehkan bekas narapidana korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba untuk maju sebagai caleg.
Berbeda dengan rancangan awal, Pasal 4 ayat (3) PKPU No. 20/2018 mencantumkan larangan itu kepada parpol. Bentuk pengaturannya, parpol tidak boleh menyertakan mantan terpidana korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba dalam seleksi calon anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten atau kota.
Regginaldo menilai norma PKPU tersebut bertentangan dengan UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Pasalnya, UU Pemilu tidak melarang bekas terpidana yang diancam pidana di atas 5 tahun seperti korupsi untuk menjadi caleg. Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu hanya meminta kepada bekas terpidana untuk secara terbuka dan jujur menyatakan kepada khalayak bahwa mereka eks narapidana.
Baca Juga
Selain itu, Regginaldo mengingatkan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan larangan bekas terpidana korupsi maju sebagai calon kepala daerah. Menurut MK, larangan tersebut melanggar prinsip hak asasi manusia.
PKPU No. 20/2018 memancing polemik sejak masih berupa rancangan PKPU. Klausul larangan itu ditentang oleh pemerintah, DPR, dan Badan Pengawas Pemilihan Umum.
KPU bersikukuh pada sikapnya dengan tujuan akhir untuk mencetak penyelenggara negara yang bersih dari praktik korupsi. Lembaga penyelanggara pemilu itu pun mempersilakan pihak yang dirugikan menggugat PKPU No. 20/2018 ke MA.