Bisnis.com, JAKARTA—Jaringan Advokat Publik (JAP) Indonesia mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk cermat dan objektif dalam menangani perkara dugaan korupsi yang berkaitan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Potensi ketidakcermatan dalam menempatkan pihak yang bersalah (error in persona) dalam perkara itu amat besar.
JAP Indonesia berpendapat, KPK seharusnya memperdalam dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak menteri keuangan, terutama yang berkaitan dengan periode penyelesaian kewajiban berupa penjualan aset-aset milik para debitur.
Sepatutnya, para pejabat Kementerian Keuangan yang berwenang dan diduga melakukan pelanggaran segera diproses hukum.
“KPK harus lebih cermat dan objektif, jangan sampai salah dalam menetapkan kesalahan hukum pada seseorang [error in persona],” kata Koordinator JAP Indonesia Moin Tualeka dalam keterangan resmi, Senin (25/6/2018).
Moin mencermati perkara yang saat ini tengah diperiksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung.
Ia didakwa bersama Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorodjatun Kuntjoro-jakti, pengendali saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim, dan istri Sjamsul, Itjih S. Nursalim melakukan pelanggaran sehubungan dengan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk Sjamsul Nursalim.
Sjamsul dan istrinya belum pernah diperiksa sejak kasus ini diselidiki oleh KPK.
Kendati demikian, Moin berpendapat perbuatan yang dilakukan oleh Syafruddin sangat erat berkaitan dengan wewenang pejabat dan lembaga lain, terutama Kementerian Keuangan.
“Karakteristik perkara itu juga kental dimensi perdata, karena berkaitan dengan perjanjian kredit antara petani tambak dan BDNI yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja [PT DCD] dan PT Wachyuni Mandira [PT WM],” ujar Moin.
Fakta selanjutnya, kata Moin, BDNI telah menyerahkan aset senilai Rp4 triliun kepada BPPN untuk menyelesaikan kewajiban.
Ketika BPPN berakhir masa tugasnya pada 2004, dilakukan penyerahan aset kepada Kementerian Keuangan, yang selanjutnya melalui Perusahaan Pengelola Aset (PPA), menjual aset tersebut.
Menurut audit investigatif BPK pada 2017, aset itu dijual oleh PPA hanya Rp220 miliar.
Penjualan aset dilakukan pada saat Menteri Keuangan era Jusuf Anwar dan Sri Mulyani pada 2007. Sementara itu, hak tagih BPPN terhadap BDNI diserahkan pada saat Menteri Keuangan Boediono pada 2004.
Boediono pernah diperiksa KPK berkaitan dengan perkara tersebut pada 28 Desember 2017.
Moin menyatakan, berdasarkan fakta dan kronologi tersebut, Menteri Keuangan berwenang dan bertanggung jawab sepenuhnya atas konsekuensi penjualan aset dengan harga “diskon” itu.
Perlu diingat bahwa penyerahan aset itu merupakan bagian dari mekanisme penyelesaian kewajiban BLBI atas nama Sjamsul Nursalim selaku pengendali BDNI berdasarkan kebijakan KKSK yang saat itu dipimpin Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-jakti.
“Pokok masalahnya di situ. Berkaitan dengan penjualan aset jaminan petambak oleh PPA. Wewenang tersebut ada di pihak Kementerian Keuangan,” ujar Moin.
Sebagai catatan, Persatuan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) Dipasena pernah melaporkan dugaan korupsi penjualan aset perusahaan tersebut ke KPK pada 2015.
PPA menjual aset Dipasena Group kepada perusahaan asal Thailand Charoen Pokphand melalui Konsorsium Neptune pada 2007.
Enam aset Dipasena yang dijual adalah PT Dipasena Citra Darmaja, PT Mesuji Pratama Lines, PT Bestari Indoprima, PT Biru Laut Katulistiwa, PT Triwindu Graha Manunggal, dan PT Wahyuni Mandira.