Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tensi Perdagangan dan Pengetatan Stimulus Picu Aksi Jual

Perselisihan dagang antara dua ekonomi terbesar di dunia tampak semakin dalam. Hal itu berhasil memicu aksi jual global terhadap aset-aset berisiko dan investor beralih ke aset safe haven.
Presiden China Xi Jinping berjabat tangan dengan Presiden AS Donald Trump (paling kanan). Ikut mendamping Ibu Negara China Peng Liyuan saat makan malam pada awal pertemuan puncak 6-7 April 2017 di  Florida./.Reuters
Presiden China Xi Jinping berjabat tangan dengan Presiden AS Donald Trump (paling kanan). Ikut mendamping Ibu Negara China Peng Liyuan saat makan malam pada awal pertemuan puncak 6-7 April 2017 di Florida./.Reuters

Bisnis.com,  JAKARTA – Perselisihan dagang antara dua ekonomi terbesar di dunia tampak semakin dalam. Hal itu berhasil memicu aksi jual global terhadap aset-aset berisiko dan investor beralih ke aset safe haven.

Saham-saham di Asia berjatuhan seiring dengan Amerika Serikat dan China memasuki babak baru ancaman perdagangan. Di sisi lain, ekuitas berjangka dan imbal hasil obligasi AS, serta aset-aset safe haven seperti emas dan yen melonjak.

Penurunan tajam tampak di Hong Kong dan China—Indeks Shanghai Komposit bergerak menuju level terendahnya dalam dua tahun—setelah Presiden AS Donald Trump mengancam akan melempar tarif tambahan untuk produk impor asal China jika Negeri Panda terus memberikan tarif balasan.

China langsung mengumumkan akan membalas setiap tarif yang diberikan AS kepadanya, sebagai respons terhadap ancaman tarif terbaru Trump yang menargetkan produk-produk asal China senilai US$200 miliar.

Kendati pembicaraan mengenai perdagangan bukanlah hal yang baru bagi investor pada 2018, namun meningkatnya tensi perdagangan baik dari AS maupuan China tetap berhasil mempengaruhi pergerakan pasar keuangan.

Adapun langkah proteksionisme ini juga datang di saat berbagai pihak tengah menyuarakan kekhawatirannya terhadap momentum pertumbuhan global seiring dengan keputusan bank sentral utama dunia terkait kebijakan moneternya.

Pekan lalu, Bank Sentral AS (Federal Reserve) telah menaikkan suku bunga acuan menjadi 1,75%-2% dan memberikan sinyal percepatan di dalam pengetatan kebijakan moneternya. Selain itu, Bank Sentral Eropa (ECB)juga  mengumumkan bakal mempertahankan suku bunga acuannya hingga paruh kedua tahun depan.

“’Akankah [tensi perdagangan] semakin meninggi mulai dari sekarang? Kami harap tidak, namun tentu saja hal itu merupakan risiko,” kata Craig Vardy, Head of Fixed Income di BlakRock Inc., Australia, seperti dikutip Bloomberg, Selasa (19/6/2018).

Adapun, di tengah-tengah eksodus besar-besaran dari pasar negara berkembang, investor telah menarik modalnya dari negara-negara Asia yang sempat memiliki prospek solid untuk pertumbuhan dan pendanaan utang.

Pendanaan asing menarik diri dari enam pasar ekuitas utama negara berkembang Asia dengan laju yang tidak pernah terlihat sejak krisis keuangan global 2008. Berdasarkan data yang dikumpulkan Bloomberg, mereka telah menarik keluar modal sebesar US$19 miliar dari India, Indonesia, Filipina, Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand sejauh ini.

Sementara pasar negara berkembang sempat bersinar pada kuartal I/2018, mengindikasikan ketahanannya terhadap pengetatan stimulus The Fed, hal tersebut tampak diragukan dalam dua bulan terakhir.

Pasalnya, obligasi AS telah menawarkan imbal hasil sekitar 2% dan The Fed berprospek untuk menaikkan suku bunga lebih cepat. Adapun berita utama mengenai selisih perdagangan yang dapat memukul eksportir Asia pun tidak membantu.

“Ini bukanlah keadaan yang bagus untuk emerging market,” kata James Sullivan, Head of Asia ex-Japan Equities Research di JPMorgan Chase&Co.

Dia menjelaskan, pihaknya masih memperkirakan The Fed  bakal menaikkan suku bunga sekitar dua per tiga lagi dalam 12 bulan ke depan.  

“The Fed terus menjadi lebih hawkish, namun pasar tidak dapat mengejar,” imbuhnya.

Sementara banyak investor emerging market dan analis memuji fundamental perekonomian Asia, menyebutnya sebagai pionir pertumbuhan dunia dan politik yang stabil, banyak pula yang mengacungkan bendera merah bahwa lukuiditas global mulai tergerus.

Kendati demikian, Bank of America Merrill Lynch memperkirakaan mata uang regional, termasuk baht Thailand dan peso Filipina, dapat terapresiasi tipis pada akhir tahun.

Enam dari sepuluh mata uang emerging berperforma baik sejauh ini masih ada di Asia, dipimpin oleh ringgit Makaysia yang memperoleh 1,2% penguatan dan yuan China sebesar 1,1%.

Adapun negara-negara berkembang lainnya, seperti Turki, Indonesia, India, dan Argentina telah menaikkan suku bunga mereka.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper