Bisnis.com, JAKARTA – Perang tarif Presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan pembeli utama komoditas kedelai, apel dan jagung AS menimbulkan ancaman bahwa petani tak akan lagi mendapat dukungan dari pendukung terbesarnya.
Petani AS saat ini merasa mata pencahariannya dalam bahaya.
Para petani sangat mendukung Trump pada Pemilihan Umum AS 2016 lalu, menyambut presiden terpilih yang ingin memajukan perekonomian pedesaan dan berjanji akan mencabut pajak perumahan yang seringkali merugikan keluarga petani.
Sekarang, para petani tersebut justru harus melihat harga-harga komoditas pertanian anjlok dan pasarnya menyusut setelah Trump mejatuhkan tarif, memicu serangan balasan dari pembeli utama apel, keju, kentang, minuman keras, dan kedelai AS.
“Banyak orang di komunitas pertanian ingin memberikan Trump keuntungan dari keraguan. Saat ini, dampaknya mulai merugikan. Tarif tersebut bukan sesuatu yang ringan” ujar Brian Kuehl, direktur eksekutif Farmers for Free Trade, dikutip dari Reuters, Selasa (19/6/2018).
Kelompoknya, bersama dengan Asosiasi Apel AS, akan membuat iklan di televisi pada Selasa untuk sebagai bentuk penolakan akan tarif Trump di Pennsylvania dan Michigan, wilayah pertanian apel yang memberikan suara cukup banyak pada pemilihan November.
Trump mengatakan bahwa petani tidak akan menjadi korban dari perang dagang mana pun, mengembangkan isu akan adanya subsidi bagi mereka yang terkena dampak dari tarif.
Berdasarkan laporan Departemen Pertanian AS, sebelum para rekanan perdagangan AS menjatuhkan tarif, petani AS sudah menjalani tahun yang cukup berat. Pendapatan bersih dari sektor pertanian diperkirakan anjlok 6,7% menjadi US$59,5 miliar pada 2018.
Saat ini sentimennya justru semakin bearish di pasar pertanian karena adanya selisih perdagangan dengan rekanan NAFTA Kanada dan Meksiko, ditambah dengan kenaikan tensi perdagangan dengan China dan Eropa.
Setelah Trump menjatuhkan tarif pada impor baja dan aluminium, Meksiko turut memberikan tarif sebesar 20% pada impor apel, kentang, dan cranberi AS.
Pada pekan lalu, Trump menjatuhkan tarif pada barang China senilai US$50 miliar. Beijing kemudian memberikan tarif balasan dengan jumlah 25% untuk kedelai dan barang konsumsi dari AS lainnya, dimulai pada 6 Juli mendatang, menekan harga kedelai berjangka ke level terendahnya selama dua tahun dan membuat ramalan kenaikan ekspor kedelai sebanyak 11% tahun ini menjadi meragukan.
“Tarif dari China berkontribusi sekitar 30% penurunan pendapatan untuk petani jagung dan kedelai di Ohio pada tahun ini,” ujar Ben Brown, manajer program pertanian Ohio State University.
Brown menambahkan, jika tarifnya tetap seperti itu, pendapatan bersih para petani Ohio akan merosot sebanyak 63% pada 2019.
Pada pekan lalu, Asosiasi Kedelai Amerika mengatakan kekecewaannya dan selama beberapa pekan memohon kepada pemerintahan Trump untuk mencari solusi non-tarif untuk menyelesaikan masalah pencurian kekayaan intelektual oleh China dan tidak menempatkan pertanian AS dalam bahaya.
Kelompok tersebut menambahkan bahwa pihak Gedung Putih menolak permohonannya untuk melakukan pertemuan.
Waktunya pun tidak tepat bagi petani. Mereka merasa sudah terlambat untuk melakukan penyesuaian penanaman agar pertaniannya dapat terus berjalan.
“Tanaman yang sudah ada sekarang siap dipanen. Kami butuh kepastian akan adanya ketersediaan pasar untuk menjual hasil panen tersebut,” kata Casey Guernsey, perwakilan Americans For Farmers and Families.