Kabar24.com, JAKARTA — Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan pembahasan Rancangan Undang-Undangan tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), berdasarkan informasi yang didapat, akan disahkan pada bulan Agustus.
KPK sudah menyampaikan sikap secara tegas, apabila RUU KUHP tersebut disahkan terutama menyangkut pasal-pasal korupsi yang masih dimasukkan ke dalam rancangan tersebut. RUU itu sangat berisiko bagi upaya pemberantasan korupsi.
"Kami di KPK dan saya kira para penegak hukum lain sudah mengalami banyak kendala dalam pemberantasan korupsi. Regulasi-regulasi yang ada seperti kemarin itu, seperti keputusan Mahkamah Konstitusi yang akan hilangkan kata 'dapat' semakin mempersulit kerja pemberantasan korupsi," papar Febri Senin (4/6/2018).
Dia melanjutkan, jangan sampai kemudian aturan yang baru ini justru membuat kerumitan tersendiri sehingga memberikan ruang atau menguntungkan bagi para pelaku korupsi. Untuk itu, KPK berharap persoalan ini bisa didengar dan ditindaklanjuti baik oleh Presiden dan DPR.
Adapun, terkait dengan persoalan ini, KPK sudah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo, Panitia Kerja, dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM).
"Pihak-pihak yang terkait dengan proses pembahasan ini sudah kita kirimkan surat dan di sana kita uraikan resiko-resiko dan pendapat-pendapat hukum," kata Febri.
KPK mengatakan dalam beberapa hari belakangan mendengar ada pihak-pihak tertentu yang menganggap seolah-olah KPK tidak pernah menghadiri rapat-rapat pembahasan RKUHP.
"Kami tegaskan KPK hadir dalam sejumlah rapat pembahasan itu. Bahkan, pimpinan KPK juga menghadiri event-event tertentu dan di sana kami sampaikan secara tegas bagaimana sikap KPK dan bagaimana pertimbangan KPK," lanjutnya.
Febri menambahkan, apa yang disampaikan KPK beberapa waktu lalu dalam RUU KUHP tidak secara tiba-tiba, karena proses pengkajian sudah dilakukan sejak tahun 2014 dan 2015.
"Di draft pertama itu kita sudah wanti-wanti sejak awal ada risiko besar bagi pemberantasan korupsi kalau model-model seperti ini masih diteruskan. Jadi, kami mengirim surat kepada pihak-pihak terkait termasuk Presiden, karena kami percaya bahwa Presiden memiliki komitmen yang kuat dalam pemberantasan korupsi," tutur Febri.
Dia mengatakan, upaya yang dilakukan KPK saat seperti mengetuk pintu hati Presiden.
"Kita mau bawa ke mana pemberantasan korupsi ke depan. Kalau tetap dipaksakan pengesahan dengan memasukkan RUU KUHP maka ada resiko besar bagi KPK," lanjutnya.
Sejak 2017, KPK sudah lima kali mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo. Ada instruksi, lanjutnya, yang disampaikan kepada bawahan Presiden, apakah itu Menteri Hukum dan HAM, atau kemudian kepada tim perumus agar hal-hal dalam surat tersebut diperhatikan.
KPK yakin Presiden sudah membaca dan membahas surat tersebut, meskipun dalam kondisi seperti saat ini, terlebih lagi karena sudah diinformasikan Agustus RUU KUHP akan disahkan, waktu yang dimiliki semakin pendek.
"Jadi, waktu dua atau tiga bulan ke depan akan sangat menentukan bagi pemberantasan korupsi," ujar Febri.