Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Presiden Jusuf Kalla optimistis jika DPR akan menepati janji mengesahkan UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Agustus 2018.
Jusuf Kalla atau JK meyakini masih ada perbedaan-perbedaan pandangan dalam beberapa hal dalam pembahasan rancangan undang-undang tersebut.
Namun, menurutnya jika yang bersilang pendapat lebih sering bertemu dan membahas perbedaan pendangan itu, tidak mustahil dalam waktu tiga bulan ke depan revisi undang-undang tersebut akan segera rampung.
Dia pun mencontohkan pembahasan UU Terorisme yang bisa selesai dalam waktu yang relative singkat. Padahal pembasan regulasi itu sempat tertunda sekitar dua tahun.
“Perbedaan-perbedaan itu tergantung intensifikasi pertemuan contohnya soal UU teroris dalam waktu 5 hari selesai. Ini masih ada waktu tiga bulan poin-poin itu untuk disepakati bersama. Saya yakin kalau DPR itu bisa, tiga bulan menyelesaikan soal itu,” katanya di Kantor Wakil Presiden RI, Rabu (30/5/2018).
Sebelumnya, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo berjanji bahwa lembaga yang dipimpinnya akan segera mengesahkan UU KUHP sebagai kado pada perayaan HUT kemerdekaan Republik Indonesia ke-73 mendatang.
Pihaknya pun sudah melaporkan kepada Presiden Joko Widodo bahwa pembahasan RUU KUHP sudah memasuki tahapan akhir.
Pengesahan RUU KUHP dinilai pimpinan DPR itu akan menjadi peletak dasar bagi pembangunan sistem hukum pidana Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat. Sebabnya selama ini RUU KUHP yang digunakan masih merupakan produk warisan kolonial Belanda.
Pembahasan RUU KUHP sudah berlangsung sejak DPR periode 2009-2014. Namun karena tidak berhasil diselesaikan dan DPR tidak mengenal sistem legislasi warisan, maka pembahasan RUU KUHP harus dimulai lagi dari awal oleh DPR periode 2014-2019.
Adapun pembahasan RUU KUHP sudah dimulai sejak tahun 1981 yang ditandai dengan dibentuknya Tim Pengkajian untuk melakukan pembaharuan terhadap KUHP. Setelah hampir empat dekade pembahasan, baru pada DPR periode 2014-2019 RUU KUHP bisa diselesaikan.
Di sisi lain dalam regulasi itu ada kekhawatiran kriminalisasi dan pelanggaran HAM terkait pasal perzinahan, LGBT dan penghinaan terhadap peradilan. Menurut JK dalam hal fungsi hakim dan jaksa membatasi mana yang masuk dalam kriminalisasi.
“Dulu kriminalisasi itu selalu ada hubungannya dengan sistem pemerintahan yang otoriter. Kalau pemerintahannya itu demokratis, kriminalisasi itu susah, karena belum apa-apa anda sudah berteriak di mana-mana,” ujar dia.