Bisnis.com, JAKARTA – Rosihan Anwar merupakan tokoh pers yang sangat dihormati di Indonesia. Sebagai wartawan, dia banyak makan asam garam di dunia pers Tanah Air. Mulai dari zaman Belanda hingga Orde Baru. Akan tetapi di balik itu, Rosihan juga pencinta kesenian terutama film. Di tengah kesibukannya meliput, Rosihan mencurahkan perhatian pada dunia layar lebar.
Kecintaan Rosihan kepada film dimulai sejak remaja. Saat bersekolah MULO di Padang pada 1935, Rosihan rajin nonton bioskop yang memutar film-film luar negeri. Antusiasme Rosihan terhadap layar lebar semakin bertambah kala berjumpa dengan Usmar Ismail di AMS Yogyakarta. Perjumpaan itu membawa jodoh bagi Rosihan karena dia menikah Siti Zuraida, adik Usmar. Demikian informasi yang termuat di halaman filmindonesia.or.id.
Persahabatan Rosihan dengna Usmar kian akrab. Dalam laman yang sama disebutkan, Rosihan ikut bermain dalam film Usmar bertajuk Darah dan Doa. Setelah itu, Rosihan turut mendirikan Perusahaan Film Indonesia bersama Usmar. Bahkan dia menggantikan Usmar sebagai produser dalam film Terimalah Laguku (1952).
Kesibukannya di dunia jurnalistik membuat Rosihan hanya bermain sebagai peran figuran dalam beberapa film. Antara lain Ngipri Monyet (1988), Tjoet Nja Dhien (1986) sebagai Habib Meulaboh, Karmila (1974), Big Village (1969) sebagai Hakim pengadilan negeri, dan Lagi-lagi Krisis (1955) Calon atase kebudayaan.
Kendati begitu, perhatian Rosihan kepada layar lebar tidak luntur. Dalam perjalanan kariernya, Rosihan pernah menjabat beberapa posisi penting di lembaga perfilman nasional. Misalnya, Wakil Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N), juga Ketua Dewan Pembina Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI).
Sementara itu, Rosihan juga diketahui berkarya di bidang sastra dan budaya. Dia mendapat julukan a footnonote of history. Ada sekitar 20 buku dan ratusan artikel yang ditulisnya seperti jurnalistik, agama, sejarah, novel, dan politik. Di samping kegiatan jurnalistiknya, dia juga rajin menulis puisi. Karangan-karangannya banyak dimuat diterbitkan di Asia Raya, Merdeka, dan Majalah Siasat. Demikian informasi yang dihimpun dari haripersnasional.com.
Sebagai jurnalis, karier kewartawanan Rosihan berawal sebagai reporter di Asia Raya pada 1943, redaktur pelaksana Merdeka (1945-1946), pemimpin redaksi majalah Siasat (1947), dan pemimpin redaksi harian Pedoman (1948-1961 dan 1968-1974). Usai Pedoman dibredel, Rosihan menjalani profesi wartawan lepas waktu untuk media massa sing seperti Asiaweek, The Straits Times, dan The New Strait Times.
Semasa hidupnya, Rosihan dikenal tak berhenti berkarya. Namanya akan terus dikenang berkat sumbangsihnya di dunia perfilman dan jurnalistik. Rosihan menghembuskan nafas terakhir pada Kamis, pukul 08.15 di Rumah Sakit Metropolitan Media Center Jakarta. Pendiri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Surakarta pada 1946 ini mendapat penghargaan ‘Life Time Achievement‘ dari PWI Pusat.