Kabar24.com, JAKARTA – Mahkamah Agung menyatakan telah membatasi penempatan hakim pemeriksa perkara hanya sesuai keahlian. Hal itu dilakukan demi menghasilkan putusan yang berkualitas.
Ketua Kamar Pengawasan Mahkamah Agung (MA) Sunarto menjelaskan saat ini hakim tidak hanya diawasi, melainkan juga dididik untuk menghasilkan pengadil yang ideal. Salah satu contoh konkretnya berupa sistem sertifikasi hakim dalam menangani perkara-perkara di berbagai lembaga pengadilan.
“Jadi tak semua hakim bisa pegang kasus lingkungan hidup, perkara hak asasi manusia, tindak pidana korupsi, masalah anak, kepailitan. Ada sertifikasinya,” kata Sunarto dalam acara diskusi Sinergi Mencari Sosok Ideal Hakim Agung Indonesia di Jakarta, Kamis (22/3/2018).
Sunarto mengakui proses membentuk hakim karir yang ideal memang tidak mudah. Dari merekalah nanti diharapkan muncul bibit-bibit calon hakim agung sebagai puncak karir jabatan hakim.
“Pendidikan mereka berkesinambungan, dari hakim balita di bawah 5 tahun, di atas 5 tahun, 10 tahun. Kami jaga, didik, dan rawat terus,” tambahnya.
Hakim agung diseleksi dari kalangan hakim karir maupun kalangan bukan hakim. Komisi Yudisial (KY) berwenang menggelar rekrutmen hakim agung untuk disaring lagi oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk setiap pengisian 1 kursi hakim agung yang lowong, KY mengusulkan tiga nama calon.
Baca Juga
Sunarto mengatakan MA berkepentingan agar hakim agung terpilih dapat meningkatkan kinerja dan meraih kepercayaan publik. Karena itu, tambah sarjana hukum dari Universitas Airlangga ini, MA memasukkan sejumlah kriteria kelayakan calon hakim agung apabila berasal dari hakim karir.
“Kami tidak mendorong-dorong siapa yang harus jadi hakim agung, karena itu kami terus menjalin komunikasi dengan KY,” ujarnya.