Kabar24.com, JAKARTA - Sebagian besar bank sentral di Asia tetap percaya diri dan teguh pada pendiriannya meskipun Federal Reserve akan menaikkan suku bunga pekan ini.
Sementara siklus pengetatan moneter sebelumnya telah memengaruhi bank-bank sentral di kawasan Asia untuk ikut-ikutan langkah The Fed, kini situasinya berbeda.
Target inflasi yang belum tercapai dan ketersediaan cadagangan devisa telah mengurangi ketergesaan sejumlah bank sentral di Asia. Selain itu, risiko terjadinya perang dagang juga telah mencuri perhatian pembuat kebijakan dan memberikan alasan untuk mengalihkan perhatian dari tingkat suku bunga.
China, Jepang, dan Australia mewakili negara ekonomi besar di kawasan Asia Pasifik untuk tetap menahan tingkat suku bunganya untuk saat ini.
Akan tetapi, masih ada negara-negara yang tetap hawkish seperti India dan bahkan para ekonom memperkirakan Korea Selatan dan Indonesia akan menaikkan suku bunganya tahun ini.
Akan tetapi, gambarannya bisa berubah sangat cepat jika nantinya aliran dana yang keluar dari Asia melonjak. Setidaknya, untuk saat ini beginilah beberapa bank sentral di Asia merespons kenaikan Fed Fund Rate.
Bank Sentral China (PBOC) tampak masih akan menahan tingkat suku bunganya meskipun mereka memiliki pilihan untuk kenaikan. Adapun, jika PBOC menaikkan suku bunga acuannya, hal itu bisa membantu pergerakan yuan di pasar global. Pun jika dibutuhkan, dengan menaikkan suku bunga, China dapat pula mengetatkan pengawasan keuangan dan penahanan tingkat utang.
Adapun, Kongres Rakyat China (NPC) telah menunjuk gubernur PBOC yang baru pada awal pekan ini. Yi Gang yang menggantikan Zhou Xiaochuan telah menjadi orang nomor dua di PBOC selama lebih dari sedekade ini. Dia mengatakan tetap akan mempertahankan kebijakan liberalisasi keuangan dari pendahulunya.
“Tugas utamanya adalah kami harus mengimplementasikan kebijakan moneter yang bijaksana, memacu reformasi dalam membuka sektor keuangan, dan mempertahankan stabilitas seluruh sektor keuangan,” kata Yi setelah penunjukannya di Hall of the People di Beijing, seperti dilansir Bloomberg, Senin (19/3/2018).
Tahun lalu ketika The Fed menaikkan suku bunga sebanyak tiga kali, PBOC hanya mengikuti sebanyak dua kali, masing-masing sebesar 10 basis poin (bps) dan 5 bps pada Maret dan Desember.
Adapun kini, ekonom memperkirakan tidak ada alasan bagi China untuk meningkatkan suku bunga karena kampanye deleveraging Beijing tampak telah berhasil mengetatkan kondisi keuangan Negeri Panda. Selain itu, rasio pasar China telah lebih tinggi daripada negara-negara di kawasan Asia dan ekonomi maju lainnya.
Zhou Han, ekonom Commerzbank AG di Singapura mengungkapkan bahwa tidak ada alasan bagi China untuk kenaikan suku bunga.
“Tingkat pasar domestik telah tinggi dan tidak ada tanda-tanda perekonomian akan memanas maupun risiko inflasi akan melonjak tahun ini,” katanya seperti dikutip Bloomberg, Rabu (21/3).
Sementara, Bank Sentral Jepang (BOJ) masih tertinggal dalam menetapkan inflasi meskipun mereka telah menjalankan kebijakan stimulus longgar. Data terbaru akhir pekan lalu yang memperlihatkan tingkat inflasi Jepang di level 1%, menutup kemungkinan Jepang akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat.
Adapun yen telah semakin menguat di hadapan dolar AS tahun ini, sehingga menyulitkan BOJ untuk mengerek inflasinya.
Pada pertemuan kebijakan BOJ awal bulan ini, Gubernur BOJ Haruhiko Kuroda telah menegaskan bahwa mereka akan mempertahankan kebijakan stimulus longgar untuk beberapa waktu ini.
“Kami belum punya rencana untuk melemahkan derajat pelonggaran stimulus atau mengubah kebijakan moneter longgar saat ini sebelum mencapai target [inflasi] 2%,” katanya, seperti dilansir dari Bloomberg.
Begitu juga inflasi yang masih di bawah target Bank Sentral Australia (RBA), membuat RBA tidak akan terburu-buru untuk mengikuti jejak langkah The Fed.
Perekonomian Negeri Kanguru diharapkan akan berekspansi di atas batas kecepatannya, diestimasikan pada 2,75%. Namun, kecepatan itu tidak begitu kuat untuk mendorong kenaikan suku bunga.
Pada pertemuan kebijakan RBA bulan ini, pasar telah menentukan harga bahwa tidak akan ada perubahan tahun ini dan kenaikan sebesar 25 bps hanya akan terjadi pada pertengahan awal 2019.
“Kami berada di jalur yang berbeda [dengan The Fed]. Kebijakan moneter Australia telah lebih stabil dalam outlooknya. Tidak ada yang akan membuat kebijakan itu berubah dalam waktu dekat,” kata Menteri Keuangan Australia, Scott Morrison.