Kabar24.com, JAKARTA - Tim Advokasi Kedaulatan Ekonomi Indonesia (TAKEN) secara resmi menggugat Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ke Mahkamah Konstitusi (MK), karena dinilai tidak sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 dan dalam praktiknya seringkali terjadi penyimpangan.
Juru Bicara TAKEN, Liona N. Supriatna mengemukakan bahwa UU BUMN yang akan menjadi objek gugatan di antaranya adalah Pasal 2 ayat (1) huruf a dan b serta Pasal 4 ayat (4).
Menurut Liona kedua pasal tersebut dinilai tidak sesuai dengan UUD 1945, karena ternyata dalam praktiknya seringkali terjadi banyak penyimpangan yang jauh dari amanat Pasal 33 UUD 1945.
"Akibat dari penyimpangan itu adalah kemakmuran yang menjadi amanat konstitusi tidak terjadi. Banyak BUMN tidak lagi bertindak sebagai agen pembangunan bahkan tidak memenuhi tujuan pendirian BUMN sebagai tersurat dalam UU BUMN itu sendiri," tuturnya, Jumat (9/2/2018).
Dia menjelaskan pada UU BUMN pasal 2 ayat (1) huruf a berbuny maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah untuk memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya. Kemudian huruf b menegaskan bahwa BUMN untuk mengejar keuntungan.
Baca Juga
Liona menilai pasal tersebut cukup liberal dan tidak mengedepankan azas kekeluargaan dan kemakmuran rakyat sebagaimana yang diinginkan pasal 33 UUD 1945 bahwa sektor yang meguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.
"Kemudian yang menjadi aneh, kendati BUMN berorientasi keuntungan, namun faktanya banyak BUMN mengalami rugi. Dari itu TAKEN melihat kejanggalan dalam penyelenggaraan BUMN," katanya.
Sementara itu, pada pasal 4 yang berbunyi setiap perubahan penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), baik berupa penambahan maupun pengurangan, termasuk perubahan struktur kepemilikan negara atas saham Persero atau perseroan terbatas, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Menurut Liona pasal 4 ini dinilai telah mempreteli hak konstitusi rakyat yang diberikan kepada DPR untuk mengawasi keuangan negara. Penyertaan modal itu dilakukan begitu saja melalu peraturan pemerintah (PP) tanpa melibatkan DPR.
"Tidak ada kontrol dan pengawasan DPR terhadap keuangan negara akibatnya di masa lalu pemerintah Indonesia menjual Telkomsel dan Indosat ke asing. Kalau Telkomsel dan Indosat dianggap sebagai yang menguasai hajat hidup orang banyak, seharusnya Telkomsel dan Indosat dikuasai oleh negara,” tambah Liona.