Kabar24.com, MEDAN - Ancaman dan dampak korupsi perlu mendapat perhatian semua pihak. Sementara itu, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo menilai perguruan tinggi di Indonesia belum peka soal ancaman dan dampak korupsi.
"Meski kita tertatih, prestasi Indonesia di eradikasi korupsi ada. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia jika dilihat di Asean awalnya paling rendah. Data 2016, angka Indonesia 3,7 poin berada di posisi tiga dan Malaysia justru ada di angka 4,7," kata Agus dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) 2018 Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) di Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, Rabu (17/1/2018).
Menurut dia, hal itu merupakan gambaran bahwa hasil pemberantasan korupsi ada, tapi masih perlu keterlibatan semua pihak. Persoalannya lagi, lanjut Agus, masih banyak orang yang melihat seolah korupsi itu hal biasa saja, padahal kelaparan di Papua salah satu cermin.
"Dana otonomi khusus begitu besar ,larinya ke mana?" tanya Agus retoris.
Gambaran pendidikan Indonesia dengan anggaran Rp400 triliun tetapi masih ditemukan sekolah bobrok terutama untuk sekolah dasar, menurut dia, merupakan hal yang mengherankan.
Perguruan tinggi Indonesia di dunia rankingnya juga masih kalah dari negara-negara lain, ujar dia.
Baca Juga
Produk domestik bruto (PDB) Indonesia ada di urutan 15 besar dunia, ini alasan masuk G20. Kondisi ini seharusnya, menurut dia, juga dibarengi perubahan tingkah laku, dan perlu kesadaran untuk betul-betul berubah karena untuk menjadi negara maju diperlukan mentalitas yang jauh dari korupsi.
Jika dilihat, ujarnya, baru lima Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang sudah memasukkan tema korupsi dan yang menonjol melakukannya adalah ITB.
Ada aturan di perguruan tinggi tersebut yang menyebutkan bahwa mahasiswa dan dosen yang menyontek diskors satu semester.
Sedangkan perguruan tinggi swasta (PTS) yang sudah memulainya adalah Universitas Bina Nusantara. Di sana mahasiswa yang menyontek akan dikeluarkan, sedangkan lulusan yang melakukan korupsi akan dicabut ijazahnya.
Belum Peka
Menurut Agus, terlihat bahwa perguruan tinggi belum peka untuk isu korupsi. Hal itu terbukti pula dari sulitnya KPK mendapat saksi ahli untuk kasus KTP elektronik. Fakultas-fakultas hukum seharusnya bisa membantu mendorong cepatnya aturan pemberantasan korupsi sektor swasta.
Pada isu pengawasan, menurut dia, perguruan tinggi seharusnya juga bisa membantu Pemerintah Daerah (Pemda) untuk soal penganggaran. Deputi Pencegahan KPK mendampingi beberapa daerah dengan staf hanya sekitar 200 orang.
"Pasti tidak mampu mendampingi semua daerah dan instansi, di sini sebenarnya perguruan tinggi bisa membantu melakukannya. Jadi bantu kami, kenapa Universitas Cenderawasih tidak berperan dampingi Pemdanya, agar layanan kesehatan lebih baik," ujar Agus.