Bisnis.com, JAKARTA - Banyak cara untuk merawat ingatan atas sejarah bangsa, salah satunyan adalah dengan melakukan reenactment. Kegiatan ini adalah usaha mereka ulang peristiwa sejarah yang terjadi di masa lalu.
Saat ini banyak komunitas reenactment yang tersebar di Indonesia. Salah satunya adalah komunita Historia van Bandoeng (HvB) yang berbasis di Kota Kembang, Bandung. Setiap tahunnya mereka rutin mengadakan reenactment atas peristiwa penting dalam sejarah perjuangan Indonesia melawan Belanda, terutama dalam agresi militer Belanda II.
Salah satu pendiri HVB Bambang Kamajaya mengatakan awalnya komunitas tersebut didirikan untuk memfasilitasi hobi dari para pencinta sejarah di Bandung. Akhirnya pada 2013 mereka mendirikan komunitas ini.
"Awalnya, waktu itu saya mendapat kesempatan dari museum Mandala Wangsit untuk bekerja sama untuk membangkitkan sejarah perjuangan Siliwangi. Akhirnya kita buat acara yang berkaitan dengan Kodam III Siliwangi. Mulai dari Bojong Kokosan, kita buat teatrikalnya, kemudian Bandung Lautan Api kita juga buat, lalu ada pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) juga,"
Selain melakukan reenactment, komunitas ini secara rutin berkumpul di Museum Mandala Wangsit, Bandung pada akhir pekan. Pada hari-hari tertentu mereka juga menjadi guide untuk pengunjung museum yang ingin mengetahui tentang kehidupan di era perjuangan, dari mulai pakaian, bahasa, sampai senjatanya.
Untuk melakukan sebuah reenactment biasanya Bagus dan rekan HVB lainnya melakukan riset terlebih dahulu. Biasanya mereka mengacu pada buku sejarah yang ada untuk mengumpulkan data mengenai hal tersebut.
Selanjutnya mereka menentukan akan seperti apa dialog dan aksi teatrikal yang akan dipertunjukan. Mereka selalu berupaya menyelaraskan pertunjukan yang mereka sajikan dengan fakta sejarah yang ada.
Masing-masing anggota kemudian memilih lakon yang akan diperankan. Ada yang memilih menjadi tentara lokal ataupun pihak kompeni. Semuanya tergantung pada kesediaan peralatan yang dimiliki oleh mereka.
Untuk satu kali tampil, stelan yang mereka gunakan dibuat sedemikian rupa agar menyerupai aslinya. Bagus mengaku kadang harus mengimpor beberapa barang dari luar negeri demi kemiripan dengan aslinya.
Dia mengatakan untuk berperan sebagai kompeni lebih banyak uang yang perlu dikeluarkan ketimbang saat memilih menjadi pejuang Indonesia. Alasannya, banyak barang-barang yang sama sekali tidak ada di Indonesia. Sementara setelan pejuang Indonesia lebih sederhana dan bisa memanfaatkan jasa penjahit lokal di Bandung.
Belum lagi untuk senjata yang mereka gunakan. Jika ingin benar-benar mirip, mereka harus mengeluarkan biaya lebih untuk membli air soft gun, dan itu harganya tidak murah.
"Bisa sampai Rp 5 juta lebih, tapi kan dicicil, tidak beli lansung semuanya," katanya.
Jika memang bujet yang dimiliki terbatas, ada pula alternatif senjata yang bisa digunakan untuk ber-reenactment. Salah satunya dengan membuat senjata sendiri memanfaatkan bahan bekas seperti paralon atau kayu.