Bisnis.com, JAKARTA- Ombudsman Republik Indonesia melihat laporan maladministrasi terkait pelayanan publik dalam dunia usaha tergolong masih tinggi.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Adrianus Meliala menyatakan pada 2015 lembaganya menerima aduan masyarakat terkait dunia usaha sebanya 1749 laporan dan pada 2016 meningkat menjadi 2026 laporan sementara hingga Oktober 2017, laporan yang masuk mencapai 1451 laporan.
Untuk menindaklanjuti hal tersebut, pihaknya melakukan pengamatan kemudahan berusaha di tiga kota yakni Palembang, Surabaya dan Makassar yang merupakan kelanjutan dari pengamatan yang dilakukan pada 2016 dengan kota yang sama,
“Pengamatan ini penting dilakukan mengingat tupoksi Ombudsman sebagai lembaga negara pengawas pelayanan publik dan berkontribusi dalam mengawasi upaya pemerintah menjamin iklim kemudahan berusaha,” ujarnya, dalam diskusi di Gedung ORI, Selasa (31/10/2017).
Pada 2016, lanjutnya, ada 14 kendala kemudahan berusaha yang masuk ke meja laporan ORI di antaranya paradigma pelau usaha bukan saja yang berskala besar namun berskalah kecil dan menengah perlu diperhatikan pulan.
Selain itu kemudahan proses perizinan berusaha bagi pelaku usaha berskala menengah ke bawah belum memperoleh pelayanan sebaik pelaku usaha berskala menengah ke atas dan belum diperolehnya kepastian hukum bagi pengusaha berskala kecil serta keengganan pelaku usaha untuk melaporkan hal tersebut.
“Terakhir minimnya pelibatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik, minimnya kepercayaan dari masyarakat kepada pemeirntah, masih terjadi pungli, tumpang tindih perizinan dan persoalan lamanya waktu mengakses perizinan,” tuturnya.
Setahun berikutnya, ORI mengamati bahwa kepastian dan kecepatan pelayanan publik belum terlalu dirasakan oleh para pelaku usaha di samping suku bunga yang tinggi dengan contoh di Sumatra Selatan, nilai jual objek pajak (NJOP) naik 300% sejak 2015-2017.
Selain itu, kebijakan pemerintah pusat tidak terimplementasi dengan baik di daerah dan masih juga terjadi tumpang tindih peraturan, prosedur yang belum sederhana serta pungli yang masih ditemukan di samping masih ada juga keluhan kurangnya pemerintah melibatkan masyarakat dalam memperbaiki pelayanan publik.
Dengan demikian, menurut Adrianus, pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara pelayanan publik masih jauh dari tujuan pemerintah yang berupaya meningkatkan iklim kemudahan berusaha di Indonesia.
“Nampaknya, upaya pemerintah sejak 2016 yang telah menerbitkan beberapa peraturan dan upaya-upaya lainnya namun masih jauh dari hasil yang diharapkan,” paparnya.
Pada kajian di Palembang, iklm usaha di kawasan itu terus meningkat salah satunya karena didorong oleh meningkatkan harga komoditas ekspor yang cukup menjanjikan seperti karet, batu bara dan minya sawit. Namun hal itu belum didukung oleh kekelasan dan kecepatan pelayanan publik khususnya terkait perizinan.
Di Makassar, lanjutnya, adanya pelimpahan perizinan ke pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) memudahkan akses berusaha namun tetapi ada kendala prosedur yang berbelit-belit. Smeentara di Jawa Timur, kendala yang ditemui dalam permohonan proses perizinan sehingga diperlukan penguatan mekanisme komunikasi dan pemerintah dengan pelaku usaha.
Dia menyayangkan bahwa masih terdapat anggapan jika pengusaha melapor terkait kendala proses kemudahan berusaha justru makin dipersulit dan belum familiarnya lembaga ORI di mata para pelaku usaha.
Dengan dmeikian, berdasarkan kajian tersebut ORI merekomendasikan beberapa hal kepada pemerintah yakni memperbaiki standar pelayanan publik sesuai dengan Undang-undang (UU) No.25/2009 tentang Pelayanan Publik dengan melibatkan masyarakat dan unsur pelaku usaha.
“Kami juga mengusulkan agar pemerintah meningkatkan efektivitas penanganan pengaduan masyarakat di lingkungan penyelenggara, melakukan inovasi untuk meningkatan kualitas layanan serta melakukan telaah regulasi untuk meminimalisasi tumpang tindih kebijakan dan koordinasi intensif dengan lembaga pengawas internal dan eksternal,” pungkasnya.