Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual masih mempelajari penindakan pelanggaran kekayaan intelektual yang dilakukan lewat perdagangan elektronik maupun layanan dalam jaringan (daring).
Direktur Kerja Sama dan Pemberdayaaan Kekayaan Intelektual Dede Mia Yusanti mengatakan pihaknya masih mencari solusi bagaimana mengadang produk tidak asli atau ilegal lewat perdagangan-el.
“Di saat ini, di level internasional juga masih dibahas, bagaimana mencari solusi untuk melindungi kekayaan intelektual di era digital,” tuturnya Senin (30/10/2017).
Bagi DJKI, salah satu untuk melindungi kekayaan intelektual adalah bagaimana internet service provider memastikan hak kekayaan intelektual tidak dilanggar. Hanya saja, pihaknya belum dapat memastikan bentuk perlindungan macam apa yang akan diwujudkan DJKI.
Apabila merujuk Undang-Undang No. 28/2014 tentang Hak Cipta, menurutnya, penegakan hukum hanya dilakukan ketika ada delik aduan. Pada Pasal 95 UU No. 28/2014 dijelaskan, proses penegakan hukum hak cipta diselesaikan melalui, penyelesaian sengketa perdata dan tuntutan pidana pelanggaran.
“Kalau melihat implementasi yang ada saat ini, pengelola mal misalnya, mereka punya tanggung jawab untuk memastikan produk yang dijual adalah barang asli. Kalau lewat e-commerce memang masih dipelajari,” katanya.
Kendati demikian, DJKI telah berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Mahkamah Agung mengenai penegakan hukum untuk pelanggaran KI di e-commerce.
“Kemarin hasil diskusi dengan Hakim Agung, kalau melihat aturan hak cipta, sebenarnya juga bisa digunakan untuk pelanggaran merek maupun paten,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) Justisiari P. Kusumah mengakui modus yang dilakukan oleh pedagang produk palsu semakin berkembang, apalagi yang menggunakan platfom perdagangan elektronik.
“Sampel bukti harus banyak, dan tidak dapat diungkap dengan cepat. Belum lagi memang harus ada kesadaran dari pemilik kekayaan intelektual untuk mengungkapnya,” katanya.
Ketua Indonesia E-Commerce Association (IDEA) Aulia E Marinto mengatakan memang beleid yang hadir untuk mengatur transaksi perdagangan-el masih terbatas. Menurutnya, pengembangan kebijakan, masih diselerasakan dengan peta jalan e-commerce nasional.
“Sekarang masih intensif berdiskusi dengan pemangku kebijakan, biar ke depannya industri ini dapat terus berakselerasi. Sekaligus juga menjamin kedaulatan digitalnya ada di Indonesia,” katanya.
Kebijakan terkait dengan penyelenggaraan perdagangan elektronik tidak sekadar bicara perlindungan kekayaan intelektual, tetapi juga hak konsumen dan juga tentang pajak. Pemerintah memang sebaiknya mempelajari terlebih dahulu, dan tidak terburu-buru menerbitkan kebijakan.
Saat ini, menurut laporan We Are Social: Digital in 2017, pengguna Internet di Tanah Air mencapai 132,7 juta orang, sosial media sebanyak 106 juta orang, dan pengguna gawai sebanyak 92 juta orang.
Pertumbuhan transaksi via daring di Indonesia juga mencatatkan persentase 155% atau jauh meninggalkan persentase pertumbuhan Singapura (36%), maupun Malaysia (31%) pada 2017 dibandingkan dengan tahun sebelumnya.