Bisnis.com, JAKARTA — Penegakan hukum dalam bidang hak kekayaan intelektual masih didominasi kasus hak cipta. Data itu berasal dari Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareksrim Polri kurun 2011 – 2016.
Selama periode tersebut tercatat ada 616 perkara, merek sebanyak 274 perkara, desain industri 16 perkara, paten 7 perkara dan rahasia dagang 3 perkara.
Brigjen Pol Agung Setya, Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri, mengakui saat ini Indonesia sedang menghadapi masalah serius penanganan perkara dalam penegakan hukum, terutama menyangkut kekayaan intelektual.
“Kita menghadapi permasalahan serius dalam penegakan menyangkut hak cipta, setidaknya selama 5 tahun terakhir,” tuturnya di acara Sosialisasi Kekayaan Intelektual yang diselenggarakan Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP), Selasa (10/10/2017).
Dalam pidana perkara kekayaan intelektual yang mengacu pada delik aduan, lanjutnya, bukan berarti penegakan hukumnya menjadi lemah. Pertimbangan utama delik aduan adalah memberikan hak yang lebih kuat kepada pemegang hak KI ketika berperkara.
Agung mengatakan tren penanganan perkara KI masih lebih banyak ditangani lewat pengadilan niaga. Dengan begitu, PPNS yang dimiliki Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual tidak banyak melakukan penyidikan.
Baca Juga
Plt Dirjen Kekayaan Intelektual Aidir Amin Daud mengatakan pihaknya ikut bersinergi dengan penegak hukum dalam menangani pembajakan kekayaan intelektual.
“Masalah produk bajakan sebenarnya tidak hanya berpusat pada masyarakat golongan menengah, tetapi juga bisa sampai ke pemerintah atau korporasi besar. Memang perlu terus diedukasi semua pihak,” katanya.
Ketua Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan(MIAP) Justisiari P. Kusumah mengatakan risiko besar bagi pengguna internet di Indonesia adalah serangan terhadap data nasabah, seperti yang saat ini tengah ditangani pihak Bareskrim Polri.
“Itu baru jual beli data nasabah, bagaimana kalau pelaksanaan transaksi juga bisa di-hack melalui infeksi malware? Ini bisa mengancam jaringan industri keuangan,” katanya.
Dalam studi terbaru berjudul Cybersecurity Risks from Non-Genuine Software dari Fakultas Teknik National University of Singapore (NUS) mencatat 92% perangkat komputer dan laptop yang menggunakan perangkat lunak palsu terinfeksi malware.
Studi yang diprakarsai oleh Microsoft ini diselesaikan pada Juni 2017 dan mencakup wilayah Asia Pasifik. Fokus riset adalah pada risiko infeksi malware pada software dari penggunaan produk bajakan serta eksploitasi aktif oleh penjahat siber dari program jahat tersebut.
Studi ini mengambil 458 sampel dari delapan negara Asia Pasifik, seperti Indonesia, Srilanka dan Thailand. Sampel yang diambil dibagi menjadi 203 aktivitas unduh perangkat lunak bajakan, 90 unit komputer dan laptop yang menggunakan software bajakan, serta 165 CD dan DVD dengan perangkat lunak bajakan.
Dalam presentasinya, Assistant General Counsel Digital Crime Unit Microsoft Asia Keshav S. Dhakad memaparkan software untuk aktivitas produktif menduduki peringkat teratas yang terinfeksi malware dengan persentase sebanyak 42%, diikuti operating system (29%), permainan dan aplikasi (19%) serta antivirus (17%).
Sementara itu, dalam penelitian LPEM UI 2014 disebutkan dampak pemalsuan pada perekonomian mencapai Rp65,09 triliun, yang berasal dari empat sektor usaha.
Sektor pakaian dan barang dari kulit paling banyak terkena dampak ekonomi senilai Rp41,58 triliun, diiukti makanan minuman (Rp13,38 triliun), Obat-obatan dan kosmetika (Rp6,49 triliun), serta software sebanyak Rp3,62 triliun.
Nilai kerugian itu meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Pada 2010, data lembaga yang sama menyebutkan pemalsuan di Indonesia merugikan perekonomian sebesar Rp43,2 triliun.