Kabar24.com, JAKARTA — Mahkamah Agung dikabarkan telah merespons surat dari Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengenai permintaan fatwa batas waktu pengajuan grasi.
Pada Juni 2016, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan terkait dengan permohonan uji materi Pasal 7 Ayat 2 UU No. 5/2010 tentang Perubahan atas UU No. 22/2002 tentang Grasi (UU Grasi). Pasal itu mengatur grasi diajukan paling lama 1 tahun sejak vonis berkekuatan hukum tetap.
Jika lebih dari 1 tahun maka permohonan grasi dianggap kadaluwarsa. Namun, MK memutuskan permohonan grasi merupakan hak prerogatif Presiden yang tidak dibatasi waktu pengajuannya karena menghilangkan hak konstitusional terpidana.
Jaksa Agung Prasetyo lantas meminta fatwa kepada MA untuk memberikan kepastian pengajuan grasi. Pasalnya, para terpidana hukuman mati disinyalir mengulur-ulur waktu grasi agar eksekusi ditunda.
“MA mengatakan telah menjawab surat dari Jaksa Agung tersebut dengan Surat MA No.7/WK.MAY/III/2017 yang ditandatangani Wakil Ketua MA Bidang Yudisial. Dalam surat tersebut, MA mengembalikan teknis pelaksanaan putusan sepenuhnya ke jaksa sebagai eksekutor,” kata Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu melalui siaran pers, Rabu (4/10/2017).
Erasmus menilai upaya Jaksa Agung untuk meminta fatwa ke MA merupakan langkah yang kurang tepat. Pasalnya, selain bukan domain dari MA, Jaksa Agung diminta untuk berfokus dalam membaca putusan MK tersebut.
Baca Juga
“ICJR merasa bahwa tidak perlu lagi ada perdebatan soal larangan eksekusi mati dalam hal terpidana mengajukan grasi sebagaimana tertulis dalam Pasal 3 UU Grasi ketentuan yang kemudian diperkuat melalui putusan MK ini,” ujar Erasmus.
ICJR mengungkapkan pelanggaran atas putusan MK akan berdampak pada maladmistrasi seperti dalam eksekusi mati Humprey Ejike Jefferson pada Juli 2016. Dalam pemeriksaannya, Ombudsman memutuskan Kejagung telah melakukan maladministrasi saat eksekusi mati tersebut.
Erasmus juga mengritik komentar berbagai pihak yang menyatakan bahwa grasi dimainkan para terpidana untuk mengulur-ulur waktu eksekusi mati. Padahal, menurut dia, grasi merupakan salah satu upaya untuk meminta pengampunan atau pengurangan hukuman kepada Presiden agar terhindar dari eksekusi mati.
“Dalam kondisi ini, hanya grasi Presiden lah yang mampu menyelamatkan nyawa terpidana dengan meniadakan hukuman mati, upaya terakhir seorang manusia. Jadi ini tidak layak disebut sebagai upaya main-main dan mengulur waktu,” tambah Erasmus.
Untuk itu, Erasmus mengatakan ICJR merekomendasikan agar ada moratorium eksekusi mati guna mencegah maladministrasi seperti kasus Humprey tidak terulang. Selain itu, dia menyarankan Presiden mempertimbangkan perubahan hukuman mati menjadi penjara seumur hidup.
“Atau mempertimbangkan setidaknya menunggu sampai Rancangan KUHP disahkan di DPR sehingga terdapat lebih banyak solusi dari persoalan eksekusi mati saat ini,” kata Erasmus.