Bisnis.com, JAKARTA-- Kasus pengaduan dan keluhan yang dialami Acho, komika bernama asli Muhadkly terhadap pengelolola apartemen Green Pramuka dinilai merupakan puncak gunung es dari maraknya kasus konsumen properti yang hak-haknya terabaikan.
Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI mengatakan, mengatakan pengaduan mengenai buruknya manajemen pengelola apartemen banyak sekali, di lokasi yang berbeda. Pengaduan penghuni apartemen dan perumahan, menduduki rangking kedua (18 %), dari total pengaduan di lembaganya itu.
Acho mengeluhkan mengenai biaya sewa, biaya izin renovasi, dan sertifikat yang tidak kunjung datang. Keluhannya ditulis dalam laman pribadi atau blog pada 2015, namun kemudian dipolisikan oleh manajemen. Acho kini berstatus tersangka pencemaran nama baik.
Tulus berpendapat setelah mencermati kasus Acho, YLKI tidak mendapatkan potensi pelanggaran yang dilakukan konsumen. Khususnya dalam perspektif UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Menurutnya apa yang disampaikan konsumen, adalah upayanya untuk merebut hak-haknya, yang diduga dilanggar oleh pelaku usaha, pengembang Green Pramuka.
"Bahwa konsumen kemudian menulisnya di media sosial, sebab dipandang pengaduan-pengaduan serupa sudah mampet, tidak mendapatkan respon memadai dari pihak managemen Green Pramuka. Terbukti pegaduan serupa sudah banyak diungkap konsumen, termasuk pengaduan konsumen ke YLKI, dan bahkan sudah diliput media," katanya (7/8).
Apa yang dilakukan konsumen sudah sesuai haknya yang diatur oleh UU Perlindungan Konsumen, bahwa konsumen berhak untuk didengar pendapat dan keluhannya, Pasal 4. Termasuk menyampaikan keluhan dan pendapatnya via media masa, dan media sosial. Dia mengemukakan yang terpenting apa yang disampaikan konsumen fakta hukumnya sudah jelas, bukan fiktif (hoax), yang berpotensi fitnah.
Dengan demikian, lanjutnya, tindakan polisional oleh Green Pramuka pada konsumen, adalah tindakan yang berlebihan, dan bahkan arogan. Dan tindakan yang kontra produktif untuk perlindungan konsumen di Indonesia, yang membuat konsumen takut untuk memperjuangkan konsumennya secara mandiri.
YLKI mengecam segala bentuk kriminalisasi oleh dilakukan developer yang bertujuan untuk membungkam daya kritis konsumen. YLKI juga mengritik polisi, yang bertindak cepat jika yang mengadu adalah pihak pengembang, tapi bertindak lamban jika yang mengadu masyarakat.
Terhadap fenomena ini, YLKI meminta dan merekomendasikan beberapa hal. Pertama, agar Kementerian PUPR dan Pemprov DKI Jakarta, dalam hal ini Dinas Perumahan, harus tegas menyikapi pelanggaran hak konsumen (penghuni) yg dilakukan oleh pengelola dan pengembang. Kementerian PUPR dan Pemprov DKI tidak bisa lepas tanggungjawab terhadap maraknya pelanggaran konsumen oleh pengelola/pengembang apartemen.
Kedua, YLKI mendesak Dinas Perumahan Pemprov DKI untuk proaktif memfasilitasi mediasi antara konsumen dengan developer, untuk dapat dicari penyelesaian di luar pengadilan (out of court setlement). Ketiga, mendesak Kementerian PUPR untuk mereview semua klausula yang dibuat oleh pengembang/pengelola, baik klausula dalam PPJB/AJB rumah susun dan klausula dalam kontrak pengelolaan. Klausul baku adalah hal yang dilarang dalam UU Perlindungan Konsumen
Selanjutnya YLKI meminta menghentikan segala bentuk intervensi pengelola/pengembang dalam pembentukan P3SRS dan pengelolaan. Intervensi yg biasa dilakukan oleh pengelola biasanya melalui tekanan psikis, diskriminasi perlakuan, hingga perampasan hak konsumen. Pengelola idealnya ditunjuk dan dipilih oleh persatuan penghuni.
YLKI juga mendesak semua pengembang perumahan/apartemen untuk menjunjung tinggi etika dalam bisnis, dan mematuhi regulasi, termasuk regulasi dibidang konsumen, khususnya dalam berpromosi, beriklan. Jangan membius dengan janji-janji yang bombastis, irasional, dan bahkan manipulatif.
Adapun kepada masyarakat konsumen, terhadap kejadian ini, diharapkan tidak menyurutkan niatnya untuk bersikap kritis. Namun konsumen tetap harus waspada dan hati-hati, misalnya, tetap berkomunikasi dengan pihak pelaku usaha/pelaku usaha/pengelola, sebelum kasusnya ditulis di media sosial. Dan dari sisi fakta hukum, yang disampikan konsumen adalah bukan fiktif, hoax.