Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

KRISIS DIPLOMATIK: Qatar, Minyak, dan Akses Dagang

Memiliki wilayah yang berada di tengah teritori negara lain, menjadikan Qatar sangat bergantung pada akses dari negara-negara tetangganya. Hukuman pemutusan hubungan diplomatik dari lima negara tetangganya pada Senin (5/6) pun berpeluang menimbulkan krisis baru bagi Qatar.
Qatar/Reuters
Qatar/Reuters

Memiliki wilayah yang berada di tengah teritori negara lain, menjadikan Qatar sangat bergantung pada akses dari negara-negara tetangganya. Hukuman pemutusan hubungan diplomatik dari lima negara tetangganya pada Senin (5/6) pun berpeluang menimbulkan krisis baru bagi Qatar.

Qatar tercatat mempunyai luas wilayah mencapai 11.571 km2 dan terletak di Teluk Arab. Negara tersebut dalam hal ini berbatasan darat secara langsung dengan Arab Saudi, serta berbatasan laut dengan Iran, Bahrain, dan Uni Emirat Arab (UEA).

Sebagai salah satu produsen gas alam cair terbesar, Qatar tentu membutuhkan aksesibilitas yang luas dengan negara tetangganya untuk mendistribusikan produk andalannya tersebut. Namun, bagaikan tersambar petir di siang bolong, Qatar harus menelan pil pahit pada Senin (5/6) pagi.

Bersama dengan Yaman dan Mesir, tiga negara tetangganya yakni Arab Saudi, Bahrain dan UEA secara sepihak memutuskan hubungan diplomatiknya dan ekonominya dengan Doha. Kabar buruk tersebut belum selesai di situ saja, kelima negara itu juga sepakat menutup akses perjalanan melalui udara, darat dan laut dari dan menuju Qatar.

Kelima negara itu beralasan, Qatar terbukti memberikan dukungan terhadap kelompok-kelompok teroris yang bertujuan mengacaukan kawasan tersebut, seperti Ikhwanul Muslimin, ISIS, dan Al-Qaeda. Qatar juga dituding cenderung berkiblat kepada Iran yang dikuasai oleh kelompok Syiah.

Selanjutnya Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, beserta Bahrain dan UEA, memberi waktu 48 jam bagi para diplomat Qatar untuk meninggalkan negara mereka, sebelum penutupan akses transportasi diberlakukan.

Situasi itu tentu membuat salah satu negara terkaya di Timur Tengah tersebut terisolasi. Satu-satunya akses perdagangan darat melalui Arab Saudi praktis tertutup. Akibatnya satu-satunya jalur perdagangan yang tersisa adalah melalui Iran, yang merupakan musuh bebuyutan dari Arab Saudi.

Pemerintah Qatar pun berang. Mereka menuding keputusan keempat negara tersebut tak beralasan. Kebijakan isolasi telah merampas kedaulatan bangsa dan menghancurkan perekonomian negara yang memiliki kekayaan nasional senilai US$335 miliar yang ditempatkan di Barclays Plc dan Credit Suisse Group.

GEJOLAK EKONOMI

CEO Nomura Asset Management Middle East Tarek Fadlalah menyebutkan, kebijakan kelima negara itu akan berimplikasi langsung bagi akses para pelancong dan pebisnis yang akan menuju ke Qatar.

Menurutnya, selain risiko geopolitik yang meningkat ancaman gejolak ekonomi pun juga berpotensi naik di Timur Tengah. Terlebih Qatar merupakan salah satu pusat keuangan paling berpengaruh di kawasan itu.

"Karena ini adalah peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya, sangat sulit untuk melihat bagaimana dampak negatif yang lebih besar ke depannya dan bagaimana  isu ini akan dimainkan," kata Fadlalah.

Apa yang dihawatirkan oleh Fadlalah terkait gejolak ekonomi itu benar adanya. Setidaknya secara jangka pendek, kebijakan kelima negara kepada Doha telah membuat harga minyak mentah Brent naik 1,6% menjadi US$50,74 per barel di ICE Futures Europe Exchange di London, Senin (5/6).

Pada hari yang sama indeks saham gabungan bursa Qatar (QE Index) pun anjlok 8%. Penurunan itu menjadi yang terbesar sejak 2009. Adapun indeks acuan Dubai juga turut turun 1,2%.

Fadlalah pun memperingatkan konflik Qatar dengan lima negara tersebut akan memperburuk minat investasi investor asing di negara-negara anggota Gulf CooperationCouncil (GCC) yang terdiri Arab Saudi , Kuwait, UEA, Qatar, Bahrain, dan Oman

Adapun, peringkat kredit Qatar sendiri telah dipangkas oleh Moody's Investor Service sesaat sebelum pemutusan hubungan diplomatik dilakukan kelima negara tersebut. Peringkat utang Doha dipangkas menjadi Aa3 dengan alasan mengenai ketidapastian model pertumbuhan ekonomi negara tersebut.

"Qatar secara ekonomi dan sosial paling rentan terhadap impor produk makanan dan impor non-energi lainnya. Jika blokade lima negara itu benar dilakukan secara kaku, maka akan menjadi masalah besar bagi Qatar" kata Paul Sullivan, pengamat kawasan Timur Tengah di Universitas Georgetown.

KETERLIBATAN AS                             

Sejumlah pengamat pun menduga AS berperan dalam keputusan lima negara tersebut terhadap Qatar. Pasalnya baik Yaman, Mesir, Arab Saudi, UEA dan Bahrain adalah sekutu AS. Qatar sendiri tak dapat dikatakan sebagai musuh AS.

Pasalnya, Qatar telah menginvetasikan dananya ke AS hingga US$35 miliar. Di sisi lain Qatar Investment Authority yang merupakan pengelola soveregn wealth fund negara telah berencana membuka kantor di Sillicon Valey.

Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson bahkan berharap negara GCC tetap bersatu dan menekan segala perbedaan pendapat demi memerangi praktik terorisme.  

Namun, Peter Sluglett, Direktur Middle East Institute di National University of Singapore mengatakan salah satu alasan terbesar Qatar adalah kecenderungannya dalam membela Iran. Presiden AS Donald Trump yang dalam kunjungnya ke Arab Saudi bulan lalu, bahkan telah sepakat dengan Raja Salman untuk menetapkan Iran sebagai salah satu pendukung aksi terorisme di dunia.

Bentuk dukungan itu muncul ketika Qatar News Agency memuat pernyataan pemimpin Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani tepat tiga hari setelah Trump meninggalkan Riyadh. Al Thani menyatakan bahwa sentimen anti-Iran kini telah meningkat pesat.

“Di sisi lain Qatar ingin berusaha menunjukkan independensinya di kelompok GCC. Hal itu yang membuat negara GCC lain ingin menekan negara itu, salah satunya melalui pemutusan hubungan diplomatik dan ekonomi,” katanya.

Tercatat, kejadian konflik antara Qatar dan negara tetangganya ini bukan yang pertamakali. Pada 2014, Arab Saudi, UEA dan Bahrain sementara mencabut duta besar mereka dari Qatar. Perselisihan itu berawal dari perbedaan pendapat terkait penggulingan  Presiden Uzbekistan Mohamed Mursi, yang merupakan pentolan Ikhwanul Muslimin. (Bloomberg/Reuters)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Sumber : BISNIS INDONESIA (6/6/2017)

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper