Kabar24.com, JAKARTA—PM Inggris Theresa May akan mengajukan dokumen pemisahan Inggris dari Uni Eropa ke parlemen. Langkah tersebut akan membuat kerajaan itu memasuki tahun-tahun ketidakpastian, dan di sisi lain menjadi ujian bagi ketahanan Uni Eropa.
Sembilan bulan setelah pemungutan suara yang menghasilkan keputusan untuk memisahkan diri, May akhirnya menyurati Presiden Dewan Uni Eropa Donald Tusk. Surat itu berisi pernyataan bahwa Inggris bersungguh-sungguh akan keluar dari kelompok negara yang dia masuki pada 1973 tersebut.
Perdana menteri May, penentang Brexit yang meraih jabatan puncak dalam kekisruhan politik yang disertai referendum, memiliki waktu dua tahun untuk menyusun aturan sebelum Inggris keluar dari kelompok negara itu pada akhir Maret 2019.
"Sekarang keputusan untuk keluar dari UE sudah dibuat dan kini saatnya untuk bersatu kembali,” demikian isi dokumen yang akan dipaparkan May di depan parlemen sebagaimana dikutip Reuters, Rabu (29/3/2017).
Menurut May, bila dirinya duduk di meja perundingan maka dia akan mewakili warga Inggris Raya, mulai dari mereka yang miskin, kaya, warga perkotaan maupun masyarakat pedesaan.
Menjelang pemisahan Inggris atau Brexit, May punya pekerjaan paling sulit dibanding para pendahulunya. Dia harus menghadapi semangat baru untuk memisahkan diri dari rakyat Skotlandia.
Baca Juga
Dia juga harus melakukan pembicaraan yang alot dengan 27 negara mitra UE lain terkait keuangan. Begitu juga dengan isu perdagangan, keamanan dan sejumlah isu rumit lainnya.
Hasil dari pembicaraan tersebut akan menentukan masa depan Inggris sebagai salah satu pusat keuangan dunia dengan aset US$2,6 triliun .
Sedangkan bagi UE, yang tengah dilanda krisis utang dan kedatangan pengungsi , kehilangan Inggris merupakan pukulan telak sejak 60 tahun upaya membangun dan menyatukan Eropa setelah Perang Dunia II.