Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

IOD: Mahar, Dinasti Politik, dan Calon Tunggal Kian Merisaukan di Pilkada

Meski regulasi pelaksanaan pilkada terus diperbaiki, tapi praktik mahar politik dan politik dinasti terus tumbuh di Indonesia selain kian banyaknya calon tunggal kepala daerah yang cukup merisaukan.
Satpol PP menyobek pamflet berisi kampanye pasangan calon tunggal bupati blitar yang terpasang disalah satu sudut jalan di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Senin (7/12)./Antara
Satpol PP menyobek pamflet berisi kampanye pasangan calon tunggal bupati blitar yang terpasang disalah satu sudut jalan di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Senin (7/12)./Antara

Bisnis.com, JAKARTA—Meski regulasi pelaksanaan pilkada terus diperbaiki, tapi praktik mahar politik dan politik dinasti terus tumbuh di Indonesia selain kian banyaknya calon tunggal kepala daerah yang cukup merisaukan.

Demikian hasil evaluasi yang dilakukan oleh Presiden Institut Otonomi Daerah (IOD), Djohermansyah Djohan terkait praktik pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia.

Menurutnya, meski tidak terlihat, namun masih praktik “mahar politik” bagi kandidat calon dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) masih lazim terjadi. Menurutnya, mahar dibayarkan untuk mendapatkan kendaraan partai politik agar memenuhi persyaratan pencalonan.

“Praktek mahar bagi kandidat calon ini untuk mendapatkan kendaraan ini kita masih ada, namun memang tidak terlihat,” kata Djohermasyah, Minggu (26/3/2017).

Pada hal kata mantan Dijen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri itu, regulasi dari pelaksanaan pilkada terus diperbaiki untuk mencegah berbagai kecurangan yang terjadi.

Sedangkan terkait praktik politik dinasti, dia mencontohkan pelakasanaan pilkada serentak tahun 2015 yang menggunakan UU Nomor 8 Tahun 2015 untuk mencegah politik uang dan politik dinasti disamping untuk penguatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

“Namun dalam prakteknya, penyelenggaraan Pilkada 2015 dan 2017 belum dapat diatasi, misal politik dinasti. Ini berkembang sampai 13 daerah,” ujar Djohermansyah.

Selain itu, hal yang cukup merisaukan adalah soal calon tunggal yang jumlahnya semakin meningkat dalam pilkada 2017. “Dulu cuma 3 pasangan calon, sekarang naik menjadi 9 pasangan calon,” kata Djohemansyah.

Terkait teknis penyelenggaran, Djohermansyah mencontohkan proses pencalonan. Dia melihat diantara pasangan calon yang ikut pilkada kian banyak yang berstatus tersangka maupun terdakwa.

“Ini harus jadi bahan evaluasi untuk perbaikan (revisi UU) sehingga Pilkada 2018 bisa menutup kekurangan dua gelombang pilkada serentak yang sudah lewat. Revisi UU Pilkada ini waktunya memang pendek, harus ada program kilat,” katanya. Dia mengharapkan ke depan penyelenggara pemilu bisa lebih berintegritas dan tidak ditemukan lagi kasus pelanggaran undang-undang tersebut.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper