Kabar24.com, BERLIN - Upaya Turki meyakinkan negara lain bahwa percobaan kudeta yang gagal didalangi seorang ulama bernama Fethullah Gulen tak membuahkan hasil.
Pemerintah Turki tidak bisa meyakinkan badan intelijen asing Jerman, BND, bahwa ulama Fethullah Gulen yang bermukim di Amerika Serikat adalah sosok di balik percobaan kudeta di Turki tahun lalu, kata kepala BND kepada majalah Jerman.
Presiden Turki Tayyip Erdogan dan Pemerintah Turki menuding Gulen mengatur kudeta yang gagal di Turki pada 15 Juli 2016. Dalam percobaan tersebut, lebih dari 240 orang tewas ketika para tentara menyita banyak tank, pesawat tempur dan helikopter serta menyerang parlemen dan berupaya menggulingkan pemerintahan.
"Turki telah berupaya meyakinkan kita soal itu melalui berbagai cara namun sejauh ini tidak berhasil," kata kepala BND Bruno Kahl dalam wawancara dengan majalah berita Der Spiegel, diterbitkan Sabtu (18/3/2017).
Erdogan dan Pemerintah Turki menginginkan Amerika Serikat mengekstradisi Gulen. Sebaliknya, Gulen membantah terlibat dalam percobaan kudeta.
Baca Juga
Ditanya apakah gerakan Gulen beraliran Islam garis keras atau terorisme, Kahl mengatakan gerakan itu merupakan "perkumpulan warga sipil yang bertujuan untuk memberikan pendidikan agama dan sekuler lanjutan".
Kahal juga mengatakan ia tidak yakin Pemerintah Turki berada di balik kudeta.
"Percobaan kudeta itu tidak diprakarsai oleh pemerintah. Sebelum 15 Juli, pemerintah sudah mulai melakukan pembersihan besar-besaran sehingga pihak-pihak di militer berpikir bahwa mereka harus cepat melaksanakan kudeta sebelum mereka juga terkena (pembersihan)," ungkap Kahl.
Kepala badan intelijen itu juga memperingkatkan peningkatan ancaman Rusia terhadap Jerman dan Eropa.
"Rusia telah dua kali lipat memperkuat kemampuan tempurnya di perbatasan barat ... kita tidak menganggap semua itu sebagai pertahanan terhadap (negara-negara) Barat," ujar Kahl.
Ia mengatakan Rusia bisa mempengaruhi pemilihan federal di Jerman pada 24 September. "Kita setidaknya harus memperkirakan bahwa itu bisa terjadi."
Badan-badan intelijen Amerika Serikat telah menyimpulkan bahwa Rusia melancarkan serangan dunia maya terhadap Partai Demokrat dalam upaya mempengaruhi pemilihan presiden AS 2016 mewakili Donald Trump, yang saat itu merupakan kandidat presiden dari Partai Republik.
Rusia telah membantah tuduhan tersebut.