Belum lama ini, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengumumkan laporan tahunannya. Salah satu fokus utama yang dibahas dalam laporan tersebut adalah pemenuhan hak korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu, terutama terkait konflik Mei 1998.
Menurut catatan Komnas Perempuan, kekerasan dalam konteks pelanggaran HAM masa lalu masih terjadi dalam bentuk pelarangan, pembubaran paksa, dan intimidasi terhadap masyarakat yang menyelenggarakan kegiatan seperti diskusi publik, riset, dan pemutaran film.
Sejumlah korban masih mengalami berbagai kesulitan dalam mengakses pemenuhan hak-haknya karena stigma yang dilekatkan kepada mereka.
Berdasarkan data safenetvoice. org, sepanjang Febuari hingga Mei 2016, terdapat 29 kasus pelarangan, pembubaran, dan intimidasi kegiatan bertemakan konteks pelanggaran HAM masa lalu, terutama untuk isu tragedi 1965.
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menemukan sebanyak 85 perempuan keturunan Tionghoa yang diperkosa secara berkelompok. Namun, hingga saat ini pengakuan dari negara belum ada.
“[Para korban] tidak mau muncul. Memang kalau mereka muncul lalu apa. Akankah ada pengadilan untuk mereka. Mereka tahu itu tidak bakal ada,” ungkap Ketua Komnas Perempuan Azriana Rambe Manalu.
Tak hanya isu terkait tragedi 65 dan Mei 1998, pemulihan korban kekerasan di daerah konflik seperti di Papua, pemerintah juga belum dapat memberikan pemulihan kesehatan, psikis atau trauma healing, akses ekonomi atau hak atas pekerjaan, rumah layak huni, hingga penghapusan stigma.
Hal itu diakibatkan oleh belum adanya peraturan turunan tentang pelaksanaan Peratuan Daerah Khusus No.1/2011 tentang Pemulihan Hak-Hak Perempuan Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM.
Masalahnya, lembaga HAM tidak memiliki jaminan secara regulasi, berbeda dengan Ombudsman yang memiliki daya paksa. Yang bisa dilakukan oleh Komnas Perempuan hanya sebatas rekomendasi. Itu sebabnya Komnas Perempuan perlu memastikan adanya mekanisme yang dapat membuat negara menindaklanjuti rekomendasi tersebut.
“Kami minta pemerintah daerah untuk perdasus [peraturan daerah khusus] pemulihan. Jadi artinya, kalau penanganan hukumnya tidak jalan, maka pemulihan korban tidak boleh ditunda terlalu lama. Toh, masalah yang kita temui adalah masalahmasalah yang lalu juga,” katanya.
Demi membangun dan menjaga ingatan khalayak, memorialisasi tragedi Mei 1998 dan Tanjung Priok menjadi penting sebagai salah satu upaya pengungkapan kebenaran. Pada 2016 merupakan peringatan 18 tahun Tragedi Mei 1998.
Usai peringatan tersebut, Komnas Perempuan telah melanjutkan berbagai audiensi seperti tidak lanjut pertemuan advokasi korban Tragedi Mei 1998 bersama Wakil Gubernur DKI Jakarta dan Dinas Pendidikan DKI Jakarta.
MUATAN LOKAL
Dalam audiensinya bersama Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Komnas Perempuan meminta Tragedi Mei 1998 dimasukkan menjadi muatan lokal untuk pendidikan sekolah di DKI Jakarta sebagai kurikuler maupun ekstra kurikuler.
Dengan demikian, diharapkan anak sekolah dapat melakukan napak reformasi sehingga tragedi di masa lalu tidak terlupakan begitu saja.
Di sisi lain, Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah menilai anarkisme atas nama agama menyayupkan isu-isu tersebut sehingga ingatan masyarakat akan tragedi perlahan pupus.
Dia menekankan monumen memorialisasi bukan hanya sekadar pendirian patung, tetapi sebuah pengakuan bahwa Tragedi 1998 memang ada dan agar tidak terulang lagi. Evaluasi yang didapat dari kawula muda, lanjutnya, mereka mengaku kehilangan jejak sejarah bangsa sehingga harapannya memorialisasi ini bisa bermanfaat untuk merawat ingatan terutama bagi generasi muda.
“Untuk menyiapkan memorialisasi seperti di Pondok Rangon [kuburan massal korban 1965] saja butuh dua tahun. Kami perlu konsultasi dengan korban, penikmat seni, dan pemerintah daerah. Intinya mereka harus paham bahwa ini adalah memorialisasi sejarah,” ujarnya.