Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PILPRES 2019: Calon Tunggal Atau Calon Jamak? Inilah Petanya

Kalau tidak ada aral melintang, RUU Pemilu akan rampung dibahas di DPR pada akhir April mendatang. Selanjutnya RUU tersebut siap diluncurkan ke publik sebagai UU untuk acuan pelaksanaan berbagai kegiatan politik termasuk pengaturan masalah Pemilihan Presiden (pilpres) 2019.
Ilustrasi
Ilustrasi

Kabar24.com, JAKARTA--Kalau tidak ada aral melintang, RUU Pemilu akan rampung dibahas di DPR pada akhir April mendatang. Selanjutnya RUU tersebut siap diluncurkan ke publik sebagai UU untuk acuan pelaksanaan berbagai kegiatan politik termasuk pengaturan masalah Pemilihan Presiden (pilpres) 2019.

Setidaknya demikian yang tergambar dari dinamika pembahasan antara pemerintah dan DPR dalam beberapa pekan ini. Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Reza Patria pun telah mengkonfirmasi bahwa produk legislasi itu ditargetkan selesai pada 28 April 2017, meski—sulit dihindari dalam dunia politik—selalu ada isu krusial yang sulit ditemukan titik kesepakatannya.

Isu paling krusial itu bernama presidential threshold (PT) alias ambang batas bagi parpol untuk bisa mengajukan calon presiden. Dalam pembahasannya, pemerintah ngotot mematok angka PT 20% kursi di DPR, atau 25% suara sah secara nasional yang diraih partai politik peserta pemilu.

Sebanyak 10 fraksi masih terpecah menyangkut isu paling strategis itu di Senayan sana. Lima fraksi setuju dengan adanya PT, sementara lima fraksi lainnya menolak memberlakukan ambang batas tersebut karena dinilai melanggar hak berdemokrasi.

Fraksi yang ngotot mempertahankan PT adalah PDIP, Golkar, Nasdem, PKS, dan PPP. 

Sedangkan fraksi yang menolak keberadaan PT adalah Hanura, Gerindra, PKB, PAN, dan Demokrat. Mereka berasalasan bahwa pemberlakuan PT tidak lagi memiliki pijakan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2014 memutuskan bahwa pemilihan anggota legislatif (pileg) dilakukan serentak dengan pemilihan presiden (pilpres).

Pada kenyataannya, selama ini PT menjadi relevan karena pileg dilaksanakan lebih awal dari pilpres. Dengan demikian, hasil pileg menjadi acuan bagi parpol untuk mengajukan calon presiden.

Akan tetapi, lain halnya bagi kelompok fraksi yang berseberangan. Mereka berpendapat PT tetap diperlukan untuk menciptakan sebuah pemerintahan dengan dukungan riil sehingga memperkuat sistem presidensil.

Kelompok fraksi itu juga berpendapat bahwa putusan MK 2004 tidak otomatis meniadakan PT karena putusan itu juga menyebutkan bahwa soal PT merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR.

Sebagian kalangan menilai PT akan bisa melahirkan sesuatu yang tak terduga, yakni munculnya calon tunggal presiden sebagimana juga banyak yang tidak menduga munculnya calon tunggal kepala daerah. Sebaliknya tanpa PT akan membuat banyak calon presiden bermunculan karena semua partai bisa mengajukan calon mereka masing-masing.

Akan tetapi, terlepas dari ada atau tidaknya PT, UU Pemilu perlu mengantisipasi munculnya kemungkinan fenomena baru tersebut, yakni satu pasangan calon presiden dan wakil presiden saja yang muncul.

Artinya, sekian banyak partai politik mengerucutkan calon presidennya pada satu tokoh yang dianggap paling kuat.
Indikasi itu terlihat ketika Partai Golkar telah menjagokan nama Presiden Joko Widodo untuk diajukan sebagi capres pada Pilpres 2019. Apalagi Kalau PDIP dan partai pendukung pemerintah saat ini juga melakukan hal yang sama.

Politik memang sebuah seni kemungkinan, sehingga tidak ada yang tidak mungkin seiring dinamika yang berkembang menjelang 2019.
Fenomena terpilihnya para pimpinan parlemen menjadi ketua umum partai pendukung pemerintah, agaknya perlu dicermati.

Ketua DPR yang dijabat Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto serta Ketua MPR yang diduduki oleh Zulkifli Hasan yang tidak lain adalah Ketua Umum PAN, menjadi contoh. Belum lagi Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) yang baru-baru ini terpilih menggantikan Wiranto, yang merupakan seorang Wakil Ketua MPR sekaligus Anggota DPD.

Tidak tertutup kemungkinan OSO, yang sebelumnya pernah mencalonkan diri jadi ketua DPD, akan terpilih menjadi Ketua DPD pada pemilihan Maret mendatang untuk masa kepemimpinan dua setengah tahun ke depan sebagaimana diatur Tata Tertib DPD.

Dari berbagai perkembangan di atas, pemerintah dan DPR seharusnya berkompromi menghasilkan UU Pemilu yang siap mengantisipasi kemungkinan munculnya calon tunggal presiden.

Artinya, UU harus lentur dan berorientasi jangka panjang, bukan bertujuan jangka pendek dan egois dengan memikirkan kepentingan partai politik masing-masing.

Tentunya DPR juga tidak ingin kembali kecele ketika produk legislasi yang dihasilkannya mengalami nasib tragis karena ditolak oleh MK seperti sejumlah produk sebelumnya. Kita tunggu saja!

RUU PEMILU: Calon Tunggal Presiden, Mengapa Tidak?


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Saeno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper