Kabar24.com, JAKARTA - Sejak kasus pembunuhan Angeline terungkap di media, Luh Putu Anggreni banyak menerima laporan kasus yang melibatkan anak dan perempuan.
Ketua Harian Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Denpasar itu, mencatat laporan yang masuk ke P2TP2A Kota Denpasar sejak Januari-November 2016 sebanyak 112 kasus. Angka ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya yakni 107 kasus pada 2015, 44 kasus pada 2014, 35 kasus pada 2013, dan 32 kasus pada 2012.
Jenis kasus yang masuk meliputi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Seksual, Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), penelantaran, hak asuh, dan lainnya. Dari sederet jenis kasus ini, Luh menaruh perhatian besar pada kasus seksual dan ABH yang cenderung mengalami peningkatan dari tahun lalu. Terutama pada kasus seksual, bagi Luh, hukum adat menjadi tantangan dalam penyelesaiannya.
Pada kasus seksual, seringkali terjadi kasus kehamilan di luar pernikahan. Dalam kondisi seperti ini, sebut Luh, hukum adat masyarakat setempat seringkali menikahkan pasangan dalam kasus kehamilan itu. Menjadi persoalan ketika pasangan tersebut masih di bawah umur, maka terjadi perkawinan di bawah umur.
"Masih banyak orang yang melakukan itu [perkawinan di bawah umur] karena ada kehamilan. Kami terus mensosialisasikan bahwa perkawinan di bawah umur itu dilarang," tutur Anggreni di Denpasar.
Kasus serupa juga pernah ditangani Gita Mila, siswa salah satu SMP favorit di Surakarta. Gita memang aktif sebagai anggota Forum Anak Punggawan Kota Surakarta. Dia menceritakan kala itu teman sebayanya masuk dalam pergaulan bebas, lantas hamil dan harus menikah. Sejak menikah dan melahirkan anak, teman tersebut tak lagi melanjutkan sekolah.
"Setelah dia melahirkan, kami berusaha memotivasi agar mau kembali ke sekolah, tetapi dia tidak mau," cerita Gita di Surakarta.
Wali Kota Denpasar I.B. Rai Dharmawijaya Mantra mengakui upaya menurunkan angka perkawinan di bawah umur memang menjadi tantangan dalam memenuhi 31 indikator Kota Layak Anak. Sebab, pemahaman yang berkembang di masyarakat, ketika terjadi kehamilan di luar pernikahan maka menikahkan pasangan tersebut menjadi solusi.
"Kami masih ada desa adat, dimana tekanan sosial masih berlaku. Sehingga atas dasar pemahaman etika, perkawinan di bawah umur menjadi solusi," tuturnya.
Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Lenny Rosalin, menjelaskan perkawinan anak di bawah umur memberikan implikasi besar pada masa depan anak. Kompleksitas perkawinan anak di bawah umur berpeluang menambah angka putus sekolah, angka kematian ibu dan bayi, munculnya pekerja anak dan kemiskinan.
Oleh karena itu, Lenny menekankan menurunnya angka perkawinan anak di bawah umur menjadi harga mati indikator Kota Layak Anak. Selain itu, tak kalah penting adalah pemilikan akta kelahiran yang menjadi hak dasar anak pada tingkat pertama. Tanpa akta kelahiran, masa depan anak akan tertutup. Maka, lanjut dia, konvensi hak anak memutuskan kepemilikan akta kelahiran adalah hak dasar yang harus dimiliki anak.
"Setiap daerah harus merespons ini [perkawinan anak di bawah umur dan pemilikan akta kelahiran]," tuturnya di Denpasar.
Pemerintah telah menetapkan 31 indikator untuk menjadi Kota Layak Anak. Apresiasi Kota Layak Anak terbagi menjadi lima tingkatan dari terendah hingga tertinggi, yakni Pratama, Madya, Nindya, Utama, dan Kota Layak Anak Penuh. Peringkat Nindya merupakan peringkat tertinggi yang baru dapat dicapai kabupaten/kota, sejak program ini diinisiasi pada 2006. Tiga kabupaten/kota yang meraih predikat Kota Layak Anak peringkat Nindya yakni Denpasar, Surakarta, dan Surabaya.
Pemerintah menetapkan target Indonesia Layak Anak dapat dicapai pada 2030. Target ini dicapai dalam beberapa tahap. Lenny menjelaskan hingga saat ini sebanyak 302 kabupaten/kota berproses menuju kota layak anak melalui serangkaian program dan fasilitasnya. Dia menargetkan ada penambahan 60 kabupaten/kota yang siap menjadi Kota Layak Anak tiap tahunnya. Dengan perhitungan tersebut, maka semua kabupaten/kota telah siap menuju Kota Layak Anak.
Dari 302 kabupaten/kota menuju Kota Layak Anak, peringkat Pratama dicapai oleh 50 kabupaten/kota, peringkat Madya dicapai 24 kabupaten/kota, dan peringkat Nindya dicapai tiga kabupaten/kota. Pada akhirnya, menjadi Kota Layak Anak adalah persoalan membangun sistem, tak sekadar membangun taman maupun fasilitas lainnya, sehingga terpenuhi kebutuhan dan hak-hak dasar anak.