Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Soni Sumarsono/Antara
Soni Sumarsono/Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Pemprov DKI Jakarta mempertimbangkan akan menunda realisasi pembayaran atas rencana pembelian lahan bekas Kedutaan Besar Inggris sebesar Rp470 miliar, sebelum status lahan tersebut jelas dan sah secara hukum.

Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Sumarsono mengatakan langkah tersebut ditempuh sebagai bentuk kehati-hatian dalam mengeksekusi pembelian lahan agar tidak menimbulkan persoalan hukum ke depan.

"Kemarin kan ada perintah untuk pengadaan, tapi setelah info terbaru status kepemilikannya tidak jelas, makanya kami lebih baik hati-hati," kata pria yang akrab disapa Soni tersebut, Jumat (9/12/2016).

Pasalnya, Pemprov DKI sempat mengalami masalah hukum, saat melakukan pembelian lahan untuk pengadaan rumah susun oleh Dinas Perumahan dan Gedung Pemda.

Akibat kurang hati-hati, ternyata lahan yang dibeli Dinas Perumahan dan Gedung Pemda tersebut ternyata milik Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan DKI Jakarta.

Sementara, untuk lahan eks-Kedubes Inggris yang pada akhir Agustus 2016 telah terjadi kesepakatan kedua pihak untuk pembeliannya mencapai Rp 479 miliar, ternyata berdasarkan informasi terbaru dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), lahan itu merupakan milik Pemerintah Pusat.

"Kalau memang milik negara, ya kami tidak beli. Pemerintah tidak bisa membeli tanah yang sudah menjadi milik pemerintah sendiri," katanya.
Lahan eks-Kedubes Inggris yang hendak dibeli Pemprov DKI berlokasi di kawasan sekitar Bundaran HI, Jakarta Pusat  dengan luasan 4,185 meter persegi.

Lahan tersebut rencananya akan dijadikan taman, sementara bangunannya akan dijadikan cagar budaya dan juga akan dijadikan gedung pusat pengawasan transportasi di DKI Jakarta.

Menurut rencana, pembayaran atas pembelian lahan dengan anggaran hampir setengah triliun itu akan dilakukan pada masa akhir tahun anggaran kali ini.

Gamal Sinurat, Asisten Sekda Bidang Pembangunan dan Lingkungan Provinsi DKI Jakarta menyatakan pembayaran atas lahan eks-Kedubes Inggris tersebut akan dilakukan jika status lahan benar-benar jelas dan bersih secara hukum.

Menurutnya Biro Hukum DKI Jakarta dijadwalkan pekan depan akan melakukan konsultasi dengan BPN guna mendapatkan kejelasan mengenai persoalan lahan tersebut.

"Ini mau kita teliti lagi. Biro Hukum DKI  mau konsultasi ke BPN. Statusnya bagaimana, ini kan informasinya sertifikatnya hak pakai, tapi ada juga dibarengi dengan SK Menteri Agraria sejak 1954. Nah, kita mau pastikan lagi nih," terangnya.

Gamal menyatakan apabila ternyata lahan tesebut adalah merupakan tanah negara, besar kemungkinan Pemprov DKI Jakarta akan membatalkan rencana pembelian tersebut.

"Kalau ini ternyata tanah negara, ya nggak bisa dong. Kan kita baru terinformasikan ini sepekan lalu, jadi kita belum berani bayar," tegasnya.
Menurutnya Pemprov DKI Jakarta semula sudah merencanakan akan melakukan pembayaran lahan tersebut pada akhir masa anggaran tahun ini.

"Rencananya kan akan kita bayar di akhir masa tahun anggaran ini. Dan kalau batal, maka angggaran yang sudah dialokasikan ini akan jadi Silpa," tegasnya

Banyak Mafia

Sekretariat Nasional (Seknas) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menilai sebaiknya rencana pembelian lahan bekas Kedutaan Besar Inggris oleh Pemprov DKI Jakarta di kaji kembali.

Organisasi otonom dan nirlaba yang bergerak dalam bidang kontrol sosial untuk transparansi proses-proses penganggaran negara itu meminta Pemprov DKI Jakarta lebih berhati-hati agar tidak menjadi permasalahan dan merugikan keuangan negara.

"Kalau dulu statusnya hanya hak pakai, ya ga usah beli saja. Lebih baik rencana pembeliannya dikaji lagi," tutur Manager Advokasi Seknas Fitra, Apung Widadi, kepada Bisnis, Jumat (9/12).

Apalagi, lanjut Apung, Pemprov DKI Jakarta seharusnya juga bisa belajar dari pengalaman seperti kasus pembelian lahan di Cengkareng yang rencananya mau dibangun rusunawa, yang ternyata juga lahan pemerintah.

"Jangan buru-buru beli. Pemprov DKI belajarlah kasus Cengkareng, dan juga bahkan Sumberwaras yang justru menimbulkan polemik," ujarnya.
Fitra menilai bahwa di DKI Jakarta banyak terdapat pemain lahan atau mafia tanah yang memanfaatkan lemahnya pengelolaan aset negara selama ini, sehingga harus hati-hati.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper