Kabar24.com, JAKARTA—Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan upaya makar tidak harus menggunakan senjata, akan tetapi bisa berupa upaya atau permufakatan jahat untuk menduduki gedung DPR secara paksa.
Demikian dikemukakan Tito dalam acara Rapat Kerja dengan Komisi III DPR, Senin (5/12/2016).
Dalam rapat itu Kapolri menjawab pertanyaan sejumlah anggota Komisi III DPR terkait penangkapan 11 aktivis demokrasi termasuk Rahmawati Soekarnoputri dan Sri Bintang Pamungkas menjelang “Aksi Bela islam III” pada 2 Desember lalu. Selain itu ada juga nama Ahmad Dhani yang dituduh menghina Presiden jokowi sebagai simbol negara
Kapolri beralasan bahwa penangkapan itu dilakukan bedasarkan bukti permulaan yang meyakinkan. Hanya saja Tito tidak memerinci seperti apa bukti permulaan tersebut.
“Upaya menduduki DPR secara paksa itu adalah upaya tidak sah dalam permufatakan jahat untuk makar. Jadi tidak harus menggunakan senjata,” ujarnya. Dia menambahkan sebelumnya aktivis itu telah mengadakan sejumlah pertemuan.
Menurutnya, upaya untuk mengajak orang menduduki Gedung DPR merupakan tindakan inkonstitusional sehingga Polri harus bertindak. Kemudian, ujarnya, setelah ada bukti permulaan yang cukup maka berdasarkan bukti permulaan itu pihak Polri melakukan penangkapan untuk selanjutnya dilakukan prose hukum.
Pengamat Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengatakan pihak Polri telah menggunakan hukum di luar hukum yang ada di Indonesia dalam mengusut kasus makar dan penghinaan pada simbol negara.
Menurutnya, tidak ada satupun aturan hukum yang ada di Indonesia bisa diterapkan pada para aktivis-aktivis tersebut. “Kita harus tanya kepada para penyidik mereka menggunakan hukum dari mana dan hukum apa. Aturan penghinaan terhadap simbol negara maupun makar tidak seperti yang dituduhkan polisi terhadap para aktivisi tersebut,” ujar Margarito.
Menurut Margarito, tidak ada satupun pasal, ayat, huruf atau kata yang menyebut presiden sebagai lambang negara.
“Makanya kalau mereka yang jelas aparat penegak hukum mengatakan bahwa Jokowi sebagai presiden adalah lambang negara, maka UU dari mana yang mereka gunakan?,” ujarnya. Menuruntya, simbol negara itu adalah bendera, bahasa, lambaga negara dan lagu kebangsasaan. Sementara lambang negara itu Garuda Pancasila,” ujarnya.
Sementara untuk tuduhan makar, Margarito juga heran dengan alasan maupun logika aparat penegak hukum dari kepolisian. Dimana salahnya jelas Margarito orang meminta MPR bersidang untuk kembali merubah UUD bisa disebut makar.