Kabar24.com, VIENTIANE - Penderitaan dan tindak kekerasan seakan mengalungi kehidupan para perempuan d Negara Laos.
Kasus kekerasan terhadap perempuan di Laos tergolong akut. Seorang pria dianggap normal menganiaya perempuan, bahkan satu survei menyebutkan satu dari tiga perempuan yang menikah pernah mengalami paling tidak satu tindak kekerasan.
"Ada seorang perempuan tetangga saya yang suaminya sering mabuk dan mereka berdua sering bertengkar!" kata Soudchay, seorang warga yang berusia 28 tahun di Laos.
"Sang suami menghabiskan banyak uang untuk minum dan tak jarang memukuli istrinya setelah ia mabuk," kata Souchay kepada Xinhua, Kamis (24/11) di Ibu Kota Laos, Vientiane.
"Kaum perempuan di Laos menderita akibat kekerasan di tangan lelaki, sebab sebagian lelaki berpendapat itu adalah perbuatan normal. Mereka tidak peduli dan tak menghormati perempuan. Sebagian lelaki masih menganggap perempuan sebagai kurang penting, sejalan dengan keprecayaan budaya lama," kata Sonesadeth Manychan, pejabat pemerintah di Kabupaten Vangvieng, Provinsi Vientiane, ketika ditanya mengenai situasi kekerasan terhadap perempuan di negerinya.
Pada kesempatan peringatan Hari Internasional bagi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, yang jatuh pada 25 November, banyak orang Laos telah menyampaikan suara mereka mengenai masalah tersebut.
Satu survei mengenai kesehatan perempuan yang dilakukan pada 2014 memperlihatkan satu dari tiga perempuan yang menikah menderita setidaknya satu jenis kekerasa, demikian laporan Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Jumat (25/11/2016) siang.
Sebanyak 7% kekerasan seksual dialami perempuan dari suami atau pasangan mereka dan 12% menderita kekerasan fisik.
Sejumlah anak perempuan Laos juga mengalami kekerasan seksual. Satu jajak pendapat mengenai kekerasan yang dialami anak-anak dan dilakukan sebelumnya mendapati 94 dari 1.000 bayi dilahirkan oleh anak perempuan yang berusia antara 10 dan 19 tahun. Itu adalah jumlah anak perempuan paling banyak yang melahirkan dibandingkan dengan negara lain di wilayah itu.
Sebanyak lima persen anak perempuan tak ingin melakukan hubungan seks sebelum berusia 18 tahun, kata harian lokal Vientiane Times.
Saat menyampaikan pesan untuk memperingati Hari Internasional bagi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, Wakil Perdana Menteri Laos Sonexay Siphandone mengatakan kekerasan terhadap perempuan antara lain telah disebabkan oleh diskriminasi terhadap perempuam, tradisi kuno yang tidak beradab, takhayul, pendidikan rendah, dan padangan gender.
Kekerasan yang terjadi telah mengakibatkan dampak fisik dan kejiwaan pada perempuan, sehingga mereka tak bisa ikut dalam proses pembangunan, kata Wakil Perdana Menteri tersebut.
Ia menambahkan, kekerasan terhadap perempuan telah menimbulkan dampak negatif pada pembangunan sosial-ekonomi dan itu menjadi penghalang sangat besar bagi kesetaraan gender.
Dalam tindakan untuk menangani masalah tersebut, Sidang Majelis Umum PBB pada 1979 mensahkan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang berlaku pada 1981.
Sejumlah rencana aksi telah dilancarkan untuk melindungi hak dan kepentingan perempuan serta anak perempuan.
Menurut Sonexay Siphandone, di Laos satu kebijakan telah diterapkan untuk mendorong dan memberdayakan perempuan dan anak perempuan dalam upaya menjamin mereka menikmati kesetaraan hak politik, ekonomi, sosial dan budaya seperti yang dinikmati lelaki dan anak lelaki dan menjamin kepentingan mereka dilindungi.