Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tolak Program Pendidikan Dokter Layanan Primer, IDI Bengkulu Gelar Demo

Kalangan dokter kini tidak segan lagi menyampaikan aspirasi mereka, bahkan dengan cara unjuk rasa sekalipun.
Ilustrasi/hrinc.com
Ilustrasi/hrinc.com

Kabar24.com, BENGKULU - Kalangan dokter kini tidak segan lagi menyampaikan aspirasi mereka, bahkan dengan cara unjuk rasa sekalipun.

Ikatan Dokter Indonesia Wilayah Bengkulu menggelar aksi unjuk rasa menolak kebijakan program pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP) di Kantor Gubernur dan DPRD Provinsi Bengkulu.

Ketua IDI Bengkulu, Syafriadi, di Bengkulu, Senin (24/10/2016), mengatakan, aksi penolakan tersebut mengingat sistem pendidikan DLP tersebut akan memberikan beban yang besar terhadap calon-calon dokter.

"Sistem pendidikan yang berlaku sekarang membutuhkan waktu tujuh sampai delapan tahun baru mereka lulus dan bisa mendapatkan izin praktik, namun dengan DLP ini mereka akan kuliah lebih lama lagi," kata dia.

Beban kuliah pendidikan DLP yakni selama enam semester atau tiga tahun, artinya menurut Sayfriadi, harus menghabiskan waktu sampai 11 tahun untuk bisa menjadi seorang dokter.

"Dengan begitu biaya pendidikan juga akan besar, sementara biaya pendidikan dokter sampai sekarang masih terbilang tinggi, ini kan sulit dijangkau oleh masyarakat menengah ke bawah," kata dia lagi.

Dengan sistem pendidikan saat ini diyakini sudah mampu menghasilkan dokter-dokter dengan kompetensi, yang bisa langsung menjadi tenaga terampil pelayanan kesehatan masyarakat.

"Yang perlu dikritisi dan menjadi perhatian seharusnya, masalah biaya pendidikan tinggi, sarana dan prasarana pendidikan yang masih di bawah standar," katanya.

Selain itu, fokus kesehatan hendaknya lebih pada kebijakan sistem kesehatan, seperti Jaminan Kesehatan Nasional atau BPJS yang masih memerlukan harmonisasi sistem.

"Kebijakan otonomi daerah masih dilaporkan menjadi kendala dalam penerapan program JKN. Begitu juga sinkronisasi BPJS dengan standar profesi," ucapnya.

Pemerintah diharapkan juga lebih fokus pada sarana dan prasarana pelayanan kesehatan untuk masyarakat yang masih minim di fasilitas kesehatan tingkat pertama.

"Ini dibuktikan dengan laporan minimnya obat serta sarana penunjang yang sangat dibutuhkan dalam menegakkan diagnosis," ujarnya.

Permasalahan lain yang memerlukan perhatian yakni dukungan pembiayaan kesehatan yang masih di bawah standar pembiayaan profesi. Begitu juga pembebanan pajak alat kesehatan yang sangat tinggi dan mengakibatkan beban biaya di fasilitas kesehatan juga tinggi.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Newswire
Editor : Saeno
Sumber : Antara

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper