Kabar24.com, JAKARTA - Ombudsman RI telah telah meminta Presiden Joko Widodo menunda pengesahan rancangan revisi Peraturan Pemerintah No. 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah No. 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.
Langkah tersebut dilakukan sebagai salah satu upaya Ombudsman RI sebagaimana diatur pada Pasal 8 ayat (2) UU No. 37/2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia yang menyatakan Ombudsman berwenang menyampaikan kepada Presiden terkait perbaikan, penyempurnaan organisasi atau prosedur pelayanan publik.
"Selain itu, sesuai undang-undang tersebut, kami juga berhak menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka mencegah Maladministrasi," kata anggota Ombudsman, Alamsyah Saragih di Jakarta, Kamis (20/10/2016).
Alamsyah menambahkan Ombudsman dapat memahami keinginan pemerintah untuk menerapkan kebijakan berbagi spektrum dan jaringan (spectrum and network sharing) dalam industri telekomunikasi Indonesia dalam rangka mendorong terjadinya efisiensi.
"Namun demikian perlu dibatasi hanya pada wilayah-wilayah yang tidak terlayani sebagaimana juga dilakukan di berbagai negara untuk menjaga persaingan usaha yang sehat dan keadilan dalam pelayanan," ungkapnya.
Setelah mencermati dan menerima aduan dari masyarakat, Ombudsman RI menilai bahwa rencana revisi dua Peraturan Pemerintah tersebut diduga melanggar ketentuan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terutama Pasal 96 mengenai partisipasi masyarakat.
Menurutnya, dalam siaran pers Kementerian Komunikasi dan Informatika tanggal 16 Oktober 2016 disampaikan langkah tersebut telah ada koordinasi dengan kementerian terkait. Namun demikian, tidak dijelaskan adanya upaya melibatkan masyarakat, khususnya operator telekomunikasi.
Rencana revisi dua PP tersebut yang memperbolehkan terjadinya praktik berbagi jaringan dan frekuensi juga akan bertentangan dengan UU No. 39 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Ombudsman berpendapat perlu segera dilakukan perubahan Undang-Undang agar revisi PP tidak bertentangan dalam hal substansi.
Selain itu Ombudsman juga mensinyalir ada upaya untuk memberikan pembenaran bahwa pelaksanaan PP hasil revisi akan menghemat devisa negara hingga US$200 miliar (lebih kurang Rp2,6 triliun).
Perhitungan ini cukup janggal, mengingat nilai tambah (PDB) sektor telekomunikasi Indonesia pada 2015 hanya mencapai Rp406,9 triliun (BPS, 2016). Ombudsman menilai pernyataan tersebut tak disertai informasi cara perhitungan yang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga berpotensi menciptakan penyesatan informasi kepada publik.
Setelah mencermati, menelaah dan mempertimbangkan aduan dari berbagai pihak, Ombudsman RI berpendapat revisi PP No. 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP No. 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, berisiko cacat prosedur, cacat substansi dan tidak didukung dengan dasar perhitungan yang dapat dipertanggungjawabkan.