Kabar24.com, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) tak mau menanggapi permintaan rehabilitasi nama yang diajukan oleh bekas Ketua DPR RI Setya Novanto. Menurut mereka, rehabilitasi nama itu berada di ranah DPR RI bukan di kejaksaan.
Permintaan rehabilitasi nama tersebut merupakan imbas dari putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materi atas Pasal 5 Ayat 1 serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang diajukan oleh Setnov.
"Ya itu urusan di DPR, bukan di kejaksaan," kata Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Muhammad Rum di Jakarta, Jumat (16/9/2016).
Selain soal itu, dia menambahkan sampai saat ini mereka masih mempelajari putusan tersebut. Belum ada perkembangan, sehingga pihak kejaksaan belum bisa menentukan langkah ke depan.
"Belum ada perkembangan, masih dipelajari," jelasnya.
Sebelumnya, Setya Novanto melakukan manuver dengan meminta DPR untuk merehabilitasi namanya. Permintaan itu disampaikan menyusul dikabulkannya uji materi yang dia ajukan di MK.
Jaksa Agung M. Prasetyo sendiri mengatakan, putusan MK tersebut merupakan fakta yang harus dihadapi oleh semua penegak hukum seperti kejaksaan.
Dia menambahkan, awalnya kejaksaan menduga ada kesepakatan jahat dalam perkara itu. Hanya saja, dengan putusan MK tersebut memaksa mereka untuk mengakaji ulang perkara tersebut.
Kendati demikian, putusan dari Mahkamah Konstitusi itu tidak berlaku surut. Sehingga, apa yang dilakukan oleh kejaksaan selama ini tetap akan berlangsung.
Pengajuan uji materi tersebut bermula dari skandal “Papa Minta Saham” yang menyeret nama bekas Ketua DPR RI Setya Novanto. Skandal itu bermula dari pertemuan antara Novanto, Riza Chalid, dan bekas Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin. Pertemuan itu diduga membahas soal perpanjangan izin kontrak perusahaan tersebut.
Adapun skandal itu mengemuka ke publik, ketika bekas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said melaporkan tindakan yang dinilainya tidak pantas itu ke Majelis Kehormatan DPR RI (MKD).
Namun demikian, kasus itu terus berlanjut, hingga kemudian terungkap Setnov dan Riza mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Kabar pertemuan itu pun kemudian memunculkan dugaan “pemufakatan jahat’ oleh pria yang baru menjabat sebagai Ketua Umum Golkar tersebut. Kasus itu pun kemudian diselidiki oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Salah satu alat bukti yang digunakan yakni rekaman milik Maroef Sjamsoeddin.
Hanya saja, dengan putusan MK terkait uji materi penafsiran Pasal 5 Ayat 1 serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) alat bukti tersebut pun terancam tidak bisa digunakan.
Majelis Hakim Konstitusi menganggap, alat bukti rekaman termasuk rekaman digital harus dari aparat penegak hukum yakni kepolisian, kejaksaan, atau penegak hukum lainnya.
Tak hanya itu, MK juga menganggap tidak ada pemufakatan jahat dalam perkara itu. Karena Setnov dan Riza Chalid bukanlah orang yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan perpanjangan kontrak Freeport.