Kabar24.com, JAKARTA - Penasihat hukum Setya Novanto, Maqdir Ismail, meminta kejaksaan untuk menghentikan proses penyelidikan terhadap kliennya tersebut.
Menurutnya, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi sudah cukup kuat, sehingga jika kejaksaan ngotot untuk melanjutkan tentu bertentangan dengan undang-undang.
“Seharusnya dihentikan karena sesuai dengan putusan dari MK tersebut. Putusan itu memperlihatkan alat bukti yang digunakan juga sudah tidak sah,” kata Maqdir di Jakarta, Kamis (8/9/2016).
Dia menambahkan pihaknya sampai saat ini masih berkonsultasi dengan kliennya untuk memikirkan langkah ke depannya. Hanya saja soal kemungkinan menggugat balik pihak yang melaporkan Setnov, pengacara senior tersebut mengaku masih mempertimbangkannya.
“Saya kira sudah tidak saatnya untuk saling menyalahkan. Namun inti persoalannya sekarang kan sudah terpecahkan. Semua pihak harus menghormati itu.”
Sebelumnya, pengajuan uji materi tersebut bermula dari skandal “Papa Minta Saham” yang menyeret nama Novanto.
Skandal itu bermula dari pertemuan antara Novanto, Riza Chalid, dan bekas Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin. Pertemuan itu diduga membahas soal perpanjangan izin kontrak perusahaan tersebut.
Adapun skandal itu mengemuka ke publik, ketika bekas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said melaporkan perilaku yang dinilainya tidak pantas itu ke Majelis Kehormatan DPR (MKD).
Kasus itu terus berlanjut, hingga terungkapnya pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla oleh Setnov dan Riza Chalid.
Kabar pertemuan itu pun kemudian memunculkan dugaan “pemufakatan jahat.’ Kasus itu pun kemudian diselidiki oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Salah satu alat bukti yang digunakan yakni rekaman milik Maroef Sjamsoeddin.
Hanya saja, dengan putusan MK terkait uji materi penafsiran Pasal 5 Ayat 1 serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur soal informasi atau dokumen elektronik sebagai alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan, alat bukti tersebut pun terancam tidak bisa digunakan.
Majelis Hakim Konstitusi menganggap, bukti rekaman termasuk rekaman digital tidak bisa menjadi alat bukti tanpa adanya perintah dari aparat penegak hukum yakni kepolisian, kejaksaan, atau penegak hukum lainnya.
Tak hanya itu, MK juga menganggap tidak ada pemufakatan jahat dalam perkara itu. Sebab mereka menilai, Setnov bukanlah orang yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan perpanjangan kontrak Freeport.