Kabar24.com, JAKARTA - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meminta pemerintah melindungi pelapor kasus narkotika, terutama yang mengadu di posko "Bongkar Aparat" di Kantor KontraS.
"Kami butuh jaminan dari negara bahwa pelapor dan saksi tidak akan dipidanakan," ujar Kepala Divisi Advokasi Hak Sipil dan Politik KontraS Putri Kanesia di Kantor KontraS, Jakarta, Jumat (19/8/2016).
Hal tersebut penting, kata Putri, karena banyak pengadu yang tidak mau melanjutkan kasusnya karena takut dikriminalisasi oleh penegak hukum.
Sementara itu, lanjutnya, KontraS agak kesulitan meminta pertolongan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) karena persyaratannya saksi bisa dilindungi kalau sudah melapor ke polisi atau telah mendapatkan ancaman.
"Oleh sebab itu kami merasa perlu adanya perhatian khusus dari LPSK terkait hal ini, agar saksi yang melapor bisa langsung mendapatkan perlindungan," tutur Putri.
Pernyataan KontraS ini pun diamini oleh Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI). Pegiat PKNI Yulistyo Tejo mengatakan pelapor kasus narkoba, terutama yang melibatkan aparat, khawatir jika kasus yang diketahuinya itu menjadi bumerang untuk mereka. "Jadi sebenarnya mereka butuh jaminan dari pemerintah," ujar Yulistyo.
Adapun KontraS menyatakan kasus dugaan aparat terkait narkotika merupakan yang terbanyak dari laporan masyarakat ke posko darurat "Bongkar Aparat" yang didirikan sejak 4 Agustus 2016.
"Sampai hari ini (Jumat, 19/8), kami menerima 45 pengaduan dari masyarakat. Dari jumlah tersebut, 38 di antaranya adalah kasus dugaan keterlibatan aparat dalam kejahatan narkotika," ujar Putri.
Dari 45 aduan, baru ada tujuh pelapor yang bersedia membawanya ke dalam proses hukum. Selebihnya tidak bersedia karena berbagai alasan seperti khawatir akan keselamatan diri dan keluarga, tidak percaya laporannya akan ditindaklanjuti penegak hukum, merasa kurang cukup bukti karena menjadi satu-satunya saksi dan takut dikriminalisasi karena laporannya.
Posko Darurat "Bongkar Aparat" ini didirikan setelah adanya pengakuan terpidana mati kasus narkoba Freddy Budiman kepada Koordinator KontraS Haris Azhar bahwa ada pejabat dari BNN, TNI, dan Polri yang terlibat dan mengambil keuntungan ratusan miliar rupiah dari bisnis narkotika.
Haris Azhar kemudian menuliskannya dalam sebuah artikel, mengunggahnya dan merebak di media sosial. Atas tulisan itu, Haris Azhar dilaporkan oleh BNN, Polri, dan TNI ke Bareskrim Polri dengan sangkaan melanggar Undang-undang No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).