Bisnis.com, PEKANBARU—Norwegia merupakan salah satu negara terdepan yang memimpin kampanye untuk perubahan iklim dan terus meningkatkan anggaran negaranya untuk mengurangi jejak karbon.
Belum lama ini Norwegia mengeluarkan kebijakan ingin menyingkirkan mobil-mobil berbahan bakar minyak bumi, berencana menjadi negara karbon netral pada 2030 dan menghabiskan miliaran dolar untuk membantu negara-negara miskin mengurangi jejak karbon mereka di atmosfer.
Berdasarkan catatan bisnis.com, Indonesia merupakan salah satu negara yang diajak dan dibantu oleh Norwegia agar mengurangi jejak karbon. Pada 2010 lalu, Indonesia mendapatkan bantuan dana senilai US$1 miliar dalam program Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Plus (REDD+). Konsekuensinya, Indonesia diwajibkan mengurangi emisi yang bersumber dari perusakan hutan, kebakaran hutan, pembalakan liar, dan konversi dari lahan gambut.
Kerjasama itu diperkuat dan dilanjutkan hingga kini. Menteri Lingkungan Hidup dan Iklim Norwegia Vidar Helgesen mengemukakan hal tersebut pada saat menerima Delegasi Indonesia di kantor Kementerian LH dan Iklim Norwegia, Oslo, Norwegia, Rabu (15/6/2016), seperti dilaporkan kantor beirta Antara.
Namun, kebijakan Norwegia yang memimpin perubahan iklim dunia ini juga menjadi paradoks. Sebab, negara justru masih mengandalkan pendapatan negaranya dari minyak dan gas dengan berlayar lebih jauh di Samudera Arktik untuk mencari lebih banyak sumur-sumur baru.
"Kami tahu ada paradoks," kata Vidar Helgesen, seperti dikutip AP pada 2 Agustus 2016 lalu, mengakui. Dia menyadari bahwa negaranya mengandlakan pendapatan dari minyak dan gas.
"Kami telah hidup makmur dari minyak dan gas. Tapi tidak ada satu negara pun di dunia ini yang telah berbuat lebih untuk menekan industri minyak dan gas selain Norwegia," tambahnya.
Negara pegunungan di Skandinavia yang berpenduduk lima juta orang itu terbelah antara ambisi menjadi pemimpin global dalam perubahan iklim dan kesadaran bahwa kekayaannya didasari ketergantungan dunia akan bahan bakar fosil.
Kontradiksi ini terutama terlihat jelas di Stavanger, ibukota minyak Norwegia.
Kota di pesisir barat itu adalah pusat industri lepas pantai yang telah membuat Norwegia eksportir minyak terbesar ke-8 di dunia dan eksportir terbesar ketiga untuk gas alam. Penghasilan negara dari minyak yang mencapai US$875 miliar adalah dana investasi khusus milik pemerintah yang terbesar di dunia, dan hidrokarbon mencakup 40% dari ekspor Norwegia.
Namun sangat sedikit dari minyak tersebut yang digunakan di dalam negeri. Seperti di daerah lainnya di seluruh Norwegia, Stavanger mendapatkan hampir seluruh pasokan listriknya dari tenaga air.
Norwegia juga merupakan salah satu dari donor paling dermawan untuk inisiatif-inisiatif internasional untuk mempertahankan hutan hujan, yang membantu melawan perubahan iklim dengan menyerap beberapa karbon dioksida yang memerangkap panas yang dilepaskan oleh pembakaran bahan bakar fosil.
Negara itu telah menghabiskan $1 miliar untuk menyelamatkan hutan di Brazil dan berkomitmen untuk mengeluarkan sampai $350 juta per tahun untuk melestarikan hutan di tempat-tempat seperti Indonesia dan Guyana.
Namun Norwegia dituduh munafik, menyumbang banyak untuk proyek-proyek lingkungan hidup di luar negeri sambil mengizinkan industri minyak dan gas dalam negeri untuk memompa karbon dengan jumlah besar ke atmosfer. Rencana netralitas karbon termasuk membeli kredit untuk membantu mengurangi emisi di luar negeri.
Bahkan, Norwegia merupakan salah satu dari sedikit negara Barat dengan peningkatan emisi karbon dalam negeri tahun 2015. Hal itu terutama karena ladang-ladang minyak yang menua di Laut Utara memerlukan lebih banyak energi untuk menguras cadangan yang menipis.
"Rencananya selama ini selalu membeli kredit karbon untuk memungkinkan kita terus mengeluarkan polusi sebagai negara," ujar Lars Haltbrekken, ketua Friends of the Earth cabang Norwegia, sebuah kelompok advokasi lingkungan.
"Itulah sebabnya kami tidak merasa netralitas karbon faktor terpenting dalam melawan perubahan iklim. Kita bisa membeli kredit di negara-negara berkembang. Hal ini tidak mewajibkan kita mengurangi emisi di sini, di Norwegia," ujarnya.
Skema Uni Eropa yang lebih keras akan menetapkan target-target pengurangan emisi dalam dua tahun mendatang. Namun Norwegia, yang bukan anggota Uni Eropa, masih akan bisa berjualan kredit emisi dengan negara-negara Eropa untuk mencapai kuota pengurangan karbon.
Sementara itu, para aktivis lingkungan hidup berang karena izin-izin eksplorasi diberikan kepada 13 perusahaan minyak bulan Mei lalu untuk mengebor di sebuah wilayah baru di Arktik Norwegia. Para pengkritik mengatakan teknologi eksplorasi yang aman di daerah-daerah terpencil semacam itu belum diuji secara layak dan mereka mengklaim harga minyak yang jatuh membuat minyak dari Arktik tidak terjangkau tanpa subsidi pemerintah yang besar.
Meskipun perusahaan-perusahaan membayar pajak 78% atas hidrokarbon yang mereka hasilkan di perairan Norwegia, mereka dapat mengklaimnya kembali dengan jumlah yang sama untuk biaya eksplorasi.
Bulan Juni, Norwegia menjadi salah satu dari negara-negara pertama yang meratifikasi persetujuan Paris untuk perubahan iklim, yang ingin membatasi pemanasan global menjadi kurang dari 2 derajat Celsius dibandingkan dengan periode sebelum industri.
Haltbrekken mengatakan kontribusi Norwegia untuk target ini yang tidak melibatkan pengurangan minyak dan gas adalah nol besar.
"Kita hidup dalam periode transformasi energi yang besar," ujarnya. "Kami ingin berperan dalam elektrifikasi, bio-energi, tenaga air, atau energi hijau lainnya. Namun Norwegia memiliki hidrokarbon terbersih di dunia. Selama dunia memerlukan minyak dan gas, kami akan menyediakannya."