Kabar24.com, JAKARTA - Tiga terdakwa terkait kasus pemerasan kelebihan (restitusi) pajak PT Electronic Design and Manufacturing International (EDMI) Indonesia menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Ketiga terdakwa itu yakni Herry Setiadji, Indarto Catur Nugroho, dan Slamet Riyana. Dalam dakwaan tersebut, jaksa KPK menilai ketiga petugas pemeriksa pajak KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru. Tiga orang tersebut didakwa sengaja melakukan perbuatan untuk menguntungkan diri dan menyalahgunakan kekuasaan.
"Yakni memaksa Direktur Utama PT EDMI untuk memberikan uang senilai Rp75 juta," kata Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi Afni Kolina dalam persidangan yang digelar Rabu (3/8/2016).
Dia menjelaskan awal kasus itu bermula dari laporan kelebihan pajak PT EDMI atas PPN Februari 2013. Laporan itu dilakukan karena berdasarkan laporan hasil audit keuangan perusahaan tersebut, terdapat kelebihan bayar pajak senilai Rp2,394 miliar.
Ratu Febriana Erawati selaku Direktur Utama PT EDMI kemudian melaporkannya ke Kantor Penerima Pajak Pratama Kebayoran Baru Tiga. Laporan itu segera ditindaklanjuti oleh kantor pajak tersebut dengan mengirim tiga orang pemeriksa pajak yang kemudian menjadi terdakwa kasus itu.
Petugas pemeriksa pajak itu kemudian meminjam buku, dokumen, dan meminta keterangan dari PT EDMI Indonesia untuk mengetahui validitas nilai pajak yang dimohonkan direstitusi. Permintaan itu segera direspons oleh manajemen perusahaan dengan mengirimkan dokumen yang diminta para terdakwa.
Setelah melakukan pemeriksaan, mereka kemudian menghubungi Andriyanto, Wakil Presiden Direktur PT EDMI Indonesia. Dalam percakapan telepon itu mereka meminta pria yang merangkap direktur keuangan perusahaan tersebut untuk menemui mereka ke MM Juice di daerah Kebayoran baru.
Atas permintaan tiga petugas pemeriksa pajak tersebut, dia datang bersama Christanto, Accounting Supervisor PT EDMI. Tanpa basa-basi, mereka memberitahu progres pemeriksaan pajak tersebut.
Sebagai imbalan, mereka meminta kepada pejabat tersebut untuk memberikan uang capek kepada mereka. Besarannya senilai 15% dari total restitusi atau sekitar Rp450 juta. Mendengar permintaan itu, Andriyanto kemudian meminta waktu untuk menyampaikannya kepada Dirut PT EDMI Ratu Febriana.
Permintaan dilakukan, hanya saja hal itu tak berbuah manis bagi para petugas pajak. Ratu Febriana menolak permintaan mereka. Tak mau kehabisan akal mereka kemudian kembali meminta Andriyanto untuk menemui mereka di tempat yang sama. Mereka berniat memberikan update soal pemeriksaan pajak tersebut. Soal permintaan uang capek, pihak PT Edmi belum memberikan keputusan.
Pada tanggal 13 Maret 2014, Dirut PT Edmi bertemu dengan para terdakwa. Dalam pertemuan itu Ratu meminta kepada para terdakwa untuk menanyakan soal uang itu kepada direktur keuangannya, Andriyanto. Mereka bergegas menanyakan kepada orang yang dimaksud.
Namun, nominal yang bakal diterima oleh mereka tak sesuai dengan permintaan semula yakni 15% dari jumlah restitusi. PT Edmi hanya akan memberikan uang senilai 5% dari total restitusi tersebut atau sekitar Rp150 juta yang akan diberikan dua tahap. Akan tetapi hal itu masih terganjal, lantara Dirut PT EDMI kembali menolak memberikan uang itu.
Penolakan tersebut direspon oleh petugas pajak itu dengan ancaman. Slamet Riyana mengancam bahwa PT EDMI tak bakal bertahan lama di Indonesia.
Melihat hal itu, jaksa menilai perbuatan para terdakwa memaksa wajib pajak untuk memberikan uang capek itu bertentangan dengan pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bebas dari korupsi.
Tak hanya itu tindakan mereka juga bertentangan dengan Pasal 3 angka 4,6, 14, 17 dan Pasal 4 angka 1,6, dan 8 Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 2010 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.