Kabar24.com, JAKARTA - Peluang jaksa penuntut umum untuk mengajukan peninjauan kembali kini tertutup.
Jaksa Penuntut Umum kini tidak lagi dapat mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, setelah Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan bahwa yang berhak untuk mengajukan PK ke Mahkamah Agung adalah terpidana dan ahli warisnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini terkait dengan perkara uji materi Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), yang dimohonkan oleh istri dari terpidana kasus korupsi Djoko Tjandra yaitu Anna Boentaran.
Pemohon merasa dirugikan oleh ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung".
Anna selaku pemohon merasa dirugikan akibat ketentuan tersebut karena sebelumnya Pengadilan Negeri telah menjatuhkan vonis bebas terhadap suaminya, Djoko Tjandra, dan diperkuat dengan putusan Mahkamah Agung.
Namun delapan tahun kemudian, Jaksa Penuntut Umum (JPU) kemudian mengajukan permohonan PK atas putusan yang membebaskan Djoko Tjandra ini.
Permohonan tersebut akhirnya diterima dan Djoko dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun karena dinilai turut serta melakukan tindak pidana korupsi.
Pemohon kemudian merasa keberatan atas pengajuan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), karena menurut pemohon hal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP.
Dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa hanya terpidana dan ahli warisnya yang diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali.
Sementara itu dalam kasus Djoko, pengajuan untuk PK dilakukan oleh JPU.
Kesimpulan Mahkamah menegaskan dalam rumusan Pasal 263 ayat (1) KUHAP terdapat landasan pokok terkait dengan pengajuan PK.
Yang pertama, PK hanya dapat diajukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, sehingga PK tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas atau putusan yang menyatakan lepas dari segala tuntutan.
Hal ini berarti PK hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan. Selain itu, PK hanya dapat diajukan oleh terpidana dan ahli warisnya.
Mahkamah Konstitusi dalam kesimpulannya menyebutkan peninjauan kembali oleh JPU telah menimbulkan dua pelanggaran yaitu pelanggaran terhadap subjek dan objek peninjauan kembali.
Dikatakan ada pelanggaran terhadap subjek karena subjek peninjauan kembali menurut Undang Undang adalah terpidana atau ahli warisnya, ujar Hakim Konstitusi Manahan Sitompul.
Sementara itu pelanggaran terhadap objek terjadi karena putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, tidak dapat dijadikan objek Peninjauan Kembali.
Hakim Konstitusi Aswanto yang turut membacakan pertimbangan Mahkamah juga mengatakan bahwa esensi dari landasan filosofis lembaga PK ini ditujukan untuk kepentingan terpidana atau ahli warisnya, sebagai bentuk perlindungan HAM, bukan kepentingan negara atau korban.
"Kalau esensi ini dihapus tentu lembaga PK akan kehilangan maknanya dan tidak berarti," ujar Hakim Konstitusi Aswanto.
Namun dalam praktiknya, Mahkamah Agung masih menerima permohonan PK yang diajukan oleh JPU, terlepas apakah permohonan PK tersebut diterima atau ditolak oleh Mahkamah Agung.
Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa dalam putusan MK sebelumnya terkait dengan pengujian UU Kekuasaan Kehakiman, bahwa akan timbul ketidakpastian hukum sekaligus tidak berkeadilan bila jaksa masih tetap diberikan hak untuk mengajukan PK.
Padahal jaksa sudah diberi hak untuk mengajukan upaya banding dan kasasi.
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah kemudian memandang penting untuk kembali menegaskan norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP.
Bahwa norma yang konstitusional terkait dengan ketentuan tersebut tidak boleh dimaknai lain, selain PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya, dan hanya berlaku terhadap putusan pemidanaan.
"Pemaknaan yang berbeda terhadap norma a quo akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang justru menjadikannya inkonstitusional. Untuk itu, Mahkamah perlu menegaskan bahwa demi kepastian hukum yang adil norma Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981 menjadi inkonstitusional jika dimaknai lain," ujar Hakim Konstitusi Manahan Sitompul.
Arief Hidayat sebagai Ketua Majelis Hakim Konstitusi kemudian menyatakan bahwa Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang tidak ditafsirkan dengan, "...permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh pihak selain Terpidana dan ahli warisnya batal demi hukum."
Sebelumnya, Djoko pada Agustus tahun 2000 didakwa oleh JPU Antasari Azhar telah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus Bank Bali.
Namun, Majelis hakim memutuskan Djoko lepas dari segala tuntutan karena perbuatannya tersebut bukanlah perbuatan tindak pidana melainkan perdata.
Kejaksaan Agung pada Oktober 2008 kemudian mengajukan peninjauan kembali kasus tersebut.
Pada Juni 2009 Mahkamah Agung menerima Peninjauan Kembali yang diajukan dan menjatuhkan hukuman penjara dua tahun kepada Djoko, selain denda Rp15 juta.
Djoko juga harus mengembalikan uang sebesar Rp45 miliar kepada negara.
Namun, Djoko mangkir dari panggilan Kejaksaan untuk dieksekusi, hingga kemudian yang bersangkutan dinyatakan sebagai buron dan diduga telah melarikan diri ke Port Moresby, Papua Nugini.