Bisnis.com, JAKARTA - CV Mitra Agro Sampurna membantah tuduhan Komisi Pengawas Persaingan Usaha terkait keterlibatannya dalam perjanjian kartel sapi impor yang dilakukan asosiasi.
Kuasa hukum CV Mitra Agro Sampurna (MAS) Rian Hidayat dari Kantor Hukum Makara mengatakan kliennya bukan merupakan anggota dari asosiasi penggemukan sapi. Selain itu, juga tidak pernah mengetahui adanya perjanjian yang dimaksud oleh otoritas persaingan usaha.
"Klien kami tidak tergabung dalam asosiasi tetapi malah diikutsertakan menjadi salah satu terlapor, tuduhan tersebut sangat keliru," kata Rian seusai persidangan kepada Bisnis, Kamis (18/2/2016).
Dia menambahkan KPPU menuduh kliennya selaku terlapor XXI terlibat dalam kesepakatan yang terjadi pada rapat asosiasi feedloter. Tindakan tersebut dinilai Komisi telah menjalankan ketentuan dalam Pasal 11 Undang-undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pasal mengenai kartel tersebut berbunyi pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Rian juga menuturkan porsi pasar terlapor untuk wilayah Jabodetabek hanya sebesar 0,8%. Adapun, kandang MAS berada di Kabupaten Subang, Jawa Barat dan memasarkan sapi siap potong di Bandung dan sekitar wilayah tersebut.
Menurutnya, dalih tersebut menunjukkan kliennya tidak bisa dituduh telah melakukan penguasaan pasar seperti dalam Pasal 19 huruf C UU Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pasal tersebut menyatakan pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan.
Pihak perusahaan mengaku mengalami kerugian hingga Rp6 miliar akibat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang hampir menyentuh Rp14.400 pada tahun lalu. Kerugian tersebut dialami hingga periode Juli 2015.
Harga jual sapi yang didatangkan dari Australia seharusnya dibanderol seharga Rp43.000--Rp44.000 per kg. Namun, justru diharuskan menjual dengan harga di bawah Rp50.000 per kg.
Selain itu, feedloter juga harus menanggung pajak penghasilan (PPh) sebesar 2,3% hingga 2,5%, bea masuk sebesar 5%, serta biaya distribusi logistik sebesar Rp500 hingga Rp1.000 per kg.
Dalam perkara No. 10/KPPU-1/2015 tersebut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menuduh terlapor terlibat dalam kartel perdagangan sapi impor di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek).
Sebelumnya, dua terlapor lain yakni PT Andini Karya Makmur dan PT Kadila Lestari Jaya telah menyampaikan pembelaannya di depan majelis komisi. Kedua terlapor menilai tuduhan KPPU salah alamat karena penguasaan pasar di Jabodetabek di bawah 0,5%.