Kabar24.com, SERANG - Perkembangan perbankan di Provinsi Banten selama 2015 yang cukup menggembirakan baik dari penghimpunan dana pihak ketiga (DPK), penyaluran kredit maupun jumlah aset, sedikit terganggu dengan gagalnya pendirian Bank Banten, yang dikelola pemerintah daerah setempat.
Bank Pembangunan Daerah (BPD) Banten dicoret anggarannya oleh Kementerian Dalam Negeri dalam APBD Banten karena kasus dugaan suap yang menyertai pembentukan Bank Banten yang melibatkan Dirut nonaktif PT Banten Global Development (BGD) Ricky Tampinongkol, Wakil Ketua DPRD Banten SM Hartono dan Ketua Harian Badan Anggaran DPRD Banten FL Tri Satriya Santosa.
Ketiganya sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan ditahan di Rutan KPK, Jakarta. Kasus Bank Banten tersebut hanya bagian dari problematis keberadaan perbankan di Provinsi yang berbatasan dengan DKI Jakarta ini.
Belum ada pengaruhnya terhadap kinerja perbankan di Banten tahun 2015 yang diprediksikan membaik dibandingkan tahun sebelumnya, seiring dengan pertumbuhan ekonomi Banten yang sampai pada triwulan-III/2015 mencapai 5,18% (yoy), di atas pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya mencapai 4,73% (yoy).
Data dari kajian ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Banten Triwulan-III/2015 yang diterbitkan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Banten menyebutkan sampai triwulan-III/2015 posisi DPK, penyaluran kredit dan aset lebih baik dibandingkan triwulan-II/2015.
Aset perbankan tumbuh positif sebesar 8,34% (yoy), meskipun lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh 8,55% (yoy).
Perlambatan aset perbankan yang tercatat senilai Rp148,26 triliun itu terjadi baik pada perbankan konvensional maupun perbankan syariah, kata Kepala Kantor Perwakilan BI Provinsi Banten Budiyanto Setiawan.
Aset perbankan konvensional tumbuh 8,54% (yoy), sedikit lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang tumbuh 8,62% (yoy) dengan nilai mencapai Rp140,99 triliun. Sementara itu aset perbankan syariah dengan nilai Rp7,26 triliun tumbuh 4,62% (yoy) dari sebelumnya tumbuh 7,12% (yoy).
Melambatnya aset perbankan syariah mendorong menurunnya pangsa aset perbankan syariah dari 5,01% pada triwulan lalu menjadi 4,90% pada periode laporan.
Dalam pengimpunan dana pihak ketiga, Provinsi Banten yang berpenduduk 11,7 juta jiwa ini pihak perbankan mampu menghimpunnya dengan nilai Rp128,6 triliun dengan pertumbuhan 8,51% (yoy), lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 7,61% (yoy).
Besarnya minat warga Banten menyimpan uangnya di Bank didominasi dalam bentuk deposito dengan pangsa 42,70 %, kemudian baru tabungan yang kontribusinya sebesar 42,70 % dan giro 24,34 %.
Budiharto mengatakan pertumbuhan DPK didorong oleh peningkatan deposito yang tumbuh 7,21 % (yoy) lebih tinggi dari triwulan lalu yang tumbuh 5,03 % (yoy).
Sementara tabungan tumbuh melambat yaitu dari 5,59 % menjadi 5,45 % (yoy), sedang giro tumbuh relatif stabil dengan pertumbuhan sebesar 15,51 % (yoy).
Dalam penyaluran kredit yang berdasarkan lokasi proyek mencapai nilai Rp229,06 triliun, terjadi peningkatan 15,97 % (yoy), lebih tinggi dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh 13,92 % (yoy).
Budiharto mengatakan kredit modal kerja masih mendominasi penyaluran kredit dengan pangsa 43,74 %, diikuti kredit konsumsi dan kredit investasi dengan pangsa masing-masing 29,70 % dan 26,56 %.
Ia mengatakan pertumbuhan kredit didorong oleh peningkatan kredit modal kerja dan kredit investasi. Kredit modal kerja tumbuh 23,66 % (yoy), meningkat dari triwulan sebelumnya sebesar 19,40 % (yoy).
Kredit investasi juga mengalami peningkatan pertumbuhan dari 6,97% (yoy) menjadi 9,33% (yoy). Sementara kredit konsumsi mengalami perlambatan pertumbuhan dari 13,10% (yoy) menjadi 11,79 % (yoy).
Peningkatan kredit modal kerja dikontribusi oleh tumbuhnya kredit modal kerja kepada korporasi yang mendominasi penyaluran kredit dengan pangsa 77,84%.
Kredit modal kerja kepada korporasi terutama industri pengolahan yang tumbuh 23,64% (yoy),lebih tinggi dari triwulan sebelumnya sebesar 17,64% (yoy).
"Pertumbuhan kredit modal kerja sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Banten yang lebih baik dibanding periode sebelumnya yaitu dari 5% menjadi 5,18%," katanya.
Tingkat risiko kredit yang dicerminkan oleh non performing loan (NPL) secara umum mengalami kenaikan dari 2,13 % pada triwulan sebelumnya menjadi 2,47 %.
Peningkatan tingkat NPL itu didorong oleh peningkatan tingkat NPL seluruh jenis penggunaan kredit yaitu kredit modal kerja dari 2,88 % menjadi 3,25 %, kredit investasi dari 1,68 % menjadi 2,25 % dan kredit konsumsi dari 1,47 % menjadi 1,53 %.
Kredit untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang tersalurkan Rp30,32 triliun juga mengalami peningkatan dari 8,16 % menjadi 10,14 % (yoy).
Angka itu sudah di atas target %tase penyaluran kredit UMKM yang ditetapkan Bank Indonesia.
Berbeda dengan kredit korporasi yang mayoritas disalurkan kepada industri pengolahan, kredit UMKM utamanya disalurkan kepada sektor perdagangan, hotel dan resoran dengan pangsa 46,63 %, diikuti industri pengolahan dan sektor keuangan, real estate dan jasa perusahaan masing-masing 25,88 % dan 9,31 %.
Bank Banten Tertunda Gonjang ganjing munculnya sebuah bank pembangunan daerah di Banten yang sudah dikemas dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) Banten 2012 - 2017, dan bahkan telah terbit peraturan daerahnya nomor 5 Tahun 2013 dan Perda Nomor 4 Tahun 2012, akhirnya pupus dilanjutkan, bukan karena penyertaan modal tidak ada, namun tersandung korupsi yaitu dugaan suap.
Gubernur Banten Rano Karno yang begitu bersikeras mendirikan bank milik pemerintah daerah karena terlanjur sudah tercantum dalam RPJMD Banten 2012 -2017, akhirnya dengan berat hati menyetujui keinginan Kemendagri untk menundanya sampai batas waktu yang belum ditentukan.
"Siap menunda pembentukan Bank Banten sesuai dengan evaluasi Kemendagri pimpinan Tjahjo Kumolo. Tentu kami harus mengikutinya," kata Rano yang tidak lagi ngotot setelah ada jawaban dari Kemendagri yang mencoret anggaran untuk Bank Banten di APBD Banten.
Kemendagri beralasan bahwa Perda Nomor 5 Tahun 2013 bertentangan dengan Perda Nomor 5 Tahun 2005 tentang penyertaan modal daerah dan deposito Banten.
Pada Bab VII Pasal 12 Perda Nomor 5 Tahun 2005 tercantum larangan dalam penyertaan modal daerah berlaku, bilamana badan usaha berisiko tinggi. Kasus operasi tangkap tangkap (OTT) KPK dinilainya sebagai risiko tinggi.
Proses pembentukan Bank Banten tersebut sebenarnya sudah dipaparkan beberapa kali dalam suatu diskusi atau seminar yang hasilnya pro kontra, ada yang setuju dibentuk tahun-tahun ini, ada juga yang belum setuju dibentuk saat ini mengingat keuangan daerah yang belum memungkinkan dikucurkan, sementara keperluan lain sangat mendesak seperti pembangunan infrastruktur jalan.
Meskipun demikian, karena terlanjur sudah dicantumkan dalam RPJMD Banten 2012 - 2016, maka "dipaksakan" juga dianggarkan penyertaan modal Bank Banten pada APBD perubahan 2015 sebesar Rp250 miliar, dan pada APBD 2016 sudah dicantumkan penyertaan modal sebesar Rp350 miliar.
"Karena sudah terlanjur dimasukkan pada APBD perubahan 2015, maka uang itu masuk sebagai sisa anggaran (silpa), sedang anggaran pembentukan Bank Banten di APBD 2013 tetap tersimpan di PT BGD", kata Kepala Biro Ekonomi dan Administrasi Pembangunan (Ekbang) Provinsi Banten E Kusmayadi.
Kusmayadi mengatakan, dana tersebut tidak bisa digunakan untuk keperluan lain sesuai dengan Perda Nomor 5 Tahun 2013 tentang pembentukan Bank Pembanunan Daerah Banten, tidak bisa dicairkan dan tetap tersimpan dalam kas daerah.
Orang nomor satu di Banten memang telah berusaha sekuat tenaga untuk merealisasikan Bank Banten, termasuk pihak legislatif juga telah merespons positif dan sudah pula berupaya melaksanakan amanat RPJMD, namun bila ditengah jalan ada evaluasi dari Kemendagri, yang tentu diluar rencananya, maka kedua lembaga tersebut tidak dapat berbuat apa-apa.
"Intinya eksekutif dan legislatif sudah berupaya, dan diluar rencana kami jika dibatalkan oleh Kemendagri," Kata Ketua DPRD Banten Asep Rahmatullah yang juga politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). []